EKBIS.CO, YOGYAKARTA -- Di tengah upaya meningkatkan produksi minyak dan gas bumi, industri hulu migas mengalami banyak tantangan di wilayah Sumatra Bagian Selatan (Sumbagsel). Kendala yang dihadapi, antara lain, adalah tumpang tindih lahan, perizinan, hingga pencurian fasilitas migas dan illegal tapping.
“Semua pihak seharusnya bahu-membahu mendukung kegiatan hulu migas karena ini proyek negara,” kata Kepala Perwakilan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) Wilayah Sumbagsel Tirat Sambu Ichtijar saat menghadiri diskusi yang digelar Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta, pekan lalu.
Hadir dalam acara tersebut Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Edy Hermantoro, Chairman Sele Raya Eddy Tampi, Vice President Health Safety Security and Environment Pertamina EP Lelin Eprianto, dosen teknik perminyakan UPN Sudarmoyo, dan mantan kepala perwakilan SKK Migas Wilayah Sumbagsel Setia Budi.
Berdasarkan data SKK Migas, saat ini terdapat 80 kontraktor kontrak kerja sama (Kontraktor KKS) di Sumbagsel. Rinciannya, 43 kontraktor sudah berproduksi dan 37 dalam tahap eksplorasi. Provinsi yang masuk wilayah ini, yaitu Sumatra Selatan, Jambi, Lampung, Bengkulu, dan Bagka Belitung. Produksi wilayah tersebut sekitar 103 ribu barel minyak per hari dan 2.030 juta kaki kubik gas per hari. “Ini menunjukkan sumbangan produksi di Sumbagsel cukup signifikan,” kata Tirat.
Menurut Tirat, kendala yang cukup mengganggu operasional produksi migas adalah maraknya pencurian minyak di jalur pipa Tempino, Jambi ke Plaju di Sumatra Selatan. Di jalur pipa sepanjang 265 kilometer tersebut, setiap hari dialirkan minyak sebanyak 12 ribu barel dari lapangan Pertamina EP. Hingga pertengahan September 2013, tercatat 640 kejadian pencurian minyak. Kasus terakhir terjadi pada 15 September 2013 yang minyaknya tumpah di Sungai Musi. Pencurian minyak mulai terjadi tahun 2009 dan meningkat signifikan frekuensinya para 2012 dengan 840 kejadian. Minyak mentah yang hilang diperkirakan seribu sampai 2.500 barel per hari. “Kejadian ini jelas merugikan negara. Di sisi lain, menimbulkan ketidakpastian bagi investor,” kata Lelin Eprianto.
Kendala lain terkait tumpang tindih lahan, seperti yang dialami Pertamina EP Asset 1 yang tidak bisa melakukan rencana re-opening sumur di lapangan Kenali Asam. Sebabnya, sebagian besar lokasi sumur migas sudah dikeliling perumahan lantaran terbit sertifikat tanah di lokasi sumur. Contoh lain, rencana pengeboran tujuh sumur pengembangan Sele Raya di Blok Merangin Dua karena tumpang tindih dengan lahan perusahaan swasta yang memiliki izin usaha pemanfaatan hutan. (adv)