EKBIS.CO, JAKARTA -- Dunia pasar modal Indonesia membutuhkan lebih banyak lagi investor domestik. Pasalnya saat ini jumlah investor domestik masih sangat kecil, yakni 0,2 persen dari jumlah penduduk Indonesia.
"Jumlah investor domestik yang terbatas membuat pasar Indonesia menjadi sensitif terhadap investor asing," kata Kepala Eksekutif, Pengawas Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nurhaida, Senin (18/11).
Menurutnya, Indonesia sangat terbuka terhdap investor asing. Meski begitu Indonesia tetap membutuhkan peran investor domestik. "Kalau suatu waktu investor asing menarik dananya, kita tetap punya penyangga terhadap itu karena ada investor domestik. Ini tantangan kita ke depannya," ucapnya. Saat ini jumlah investor di pasar saham Indonesia sekitar 400 ribu rekening sedangkan unit reksadana 300 ribu rekening.
Keterbatasan jenis produk juga menjadi tantangan pengembangan pasar modal tanah air. Produk-produk yang tersedia sebagai pilihan investasi pemodal masih terbatas, baik dari sisi jumlah maupun jenisnya. Produk yang berkembang baru dalam bentuk saham, obligasi dan reksa dana konvensional. "Investor membutuhkan pasar, ukuran dan jenis produk yang cukup besar," kata dia.
Nurhaida menyebut persebaran investor reksa dana tidak merata dan terpusat di Pulau Jawa, diantaranya DKI Jakarta dengan 45 ribu lebih pemegang unit dan Jawa Barat sekitar 20 ribu pemegang unit. Jumlah emiten Indonesia merupakan yang paling sedikit di antara negara tetangga dengan 479 emiten. Sementara itu Thailand memiliki 577 emiten, Malaysia 909 emiten, Singapura 782 emiten dan yang terbanyak ialah India dengan 5.267 emiten. "Terbatasnya jumlah emiten, membuat pasar kurang berkembang," ujarnya.
Untuk menjawab beberapa tantangan tersebut, OJK telah menyiapkan beberapa program, diantaranya menyederhanakan ketentuan Initial Public Offering (IPO) supaya memudahkan perusahaan yang hendak masuk ke pasar modal dan meningkatkan pemahaman pasar modal kepada investstor.
Nurhaida mengatakan jika dilihat dari kapitalisasi pasar, perkembangan pasar modal Indonesia cukup baik. Pada 2009 menyentuh angka Rp 2019 triliun dan tumbuh lebih dari dua kali lipat per 1 November 2013 mencapai Rp 4.360 triliun.
Kondisi makro ekonomi global memberi sentimen negatif pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Indonesia. Di Mei 2013, indeks mencapai pertumbuhan tertinggi 20 persen. Namun setelah Mei, indeks menurun karena kondisi global yang memberi sentimen tidak mendukung.
Dalam kesempatan tersebut, Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) Kementerian Keuangan, Fuad Rahmany mengatakan Pemerintah Indonesia perlu memanfaatkan perjanjian terkait Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA). "Ini untuk mendorong transparansi perbankan," kata Fuad.
Sejalan dengan pemberlakuan FATCA, saat ini Indonesia telah memasuki fase dua Global Forum on Transparancy and Exchange of Information for Tax Purposes yang mana pada saat ini Indonesia masih memiliki isu-isu terkait kerahasiaan bank.
FATCA merupakan kebijakan perpajakan Amerika Serikat (AS) yang bertujuan mencegah penghindaran pajak oleh warga negara AS di luar negeri dengan cara meminta Foreign Financial Institutions (FFI). FFI berguna untuk mengidentifikasi serta melaporkan informasi warga AS yang memiliki akun asing.