Selasa 19 Nov 2013 09:42 WIB

MS Hidayat Sindir Agus Martowardojo Terkait Tingginya Impor Minyak

Rep: Muhammad Iqbal/ Red: Nidia Zuraya
Kereta pengangkut minyak mentah (ilustrasi)
Foto: whotalking.com
Kereta pengangkut minyak mentah (ilustrasi)

EKBIS.CO, JAKARTA -- Tingginya impor minyak berimbas pada masih defisitnya neraca transaksi berjalan. Berdasarkan data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) triwulan III 2013, impor minyak mencapai 10,668 miliar dolar AS.  Angka itu jauh lebih tinggi dibandingkan triwulan II 2013 yang tercatat 9,537 miliar dolar AS.  Hingga akhir September 2013, defisit transaksi berjalan menyentuh 8,4 miliar dolar AS atau setara 3,8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Ditemui di kantornya, Senin (18/11) sore, Menteri Perindustrian MS Hidayat mengatakan impor minyak yang masih besar disinyalir oleh Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo telah mengakibatkan tekanan pada defisit transaksi berjalan.  Akibatnya, BI mengambil kebijakan berupa pengetatan dari sisi moneter untuk menanggulangi defisit.  "Saya hanya mengingatkan, itu (defisit transaksi berjalan) sudah berlangsung 3,5 tahun," kata Hidayat.

Hidayat menyebut, semestinya 3,5 tahun lalu, pemerintah telah sepakat untuk mengupayakan dengan keras agar investasi kilang minyak di Indonesia bisa dilaksanakan.  Sebab pada saat itu, perusahaan asal Kuwait yakni Kuwait Petroleum Corporation dan Arab Saudi yaitu Saudi Aramco telah siap bekerja sama dengan PT Pertamina (Persero).  Kedua investor juga siap menyuplai minyak mentah 300 ribu barel per hari selama 30 tahun. 

"Dia (kedua perusahaan asal Kuwait dan Arab Saudi) juga siap berinvestasi antara 9 sampai 10 miliar dolar AS per kilang. Jadi, waktu itu mestinya kalau dilakukan 3,5 tahun lalu, sekarang sudah berproduksi.  Saya kembali mengingatkan, dulu proses mereka setelah dinegosiasi oleh Pertamina, diserahkan kepada Kementerian Keuangan untuk ditindaklanjuti. Tetapi, kemudian stuck di sana (Kementerian Keuangan).  Ya, mereka (Kemenkeu) keberatan," papar Hidayat.

Mangkraknya proyek kilang ini yang menjadi komplain Hidayat dalam pertemuan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pekan lalu.  "Saya komplain bahwa kita sendiri yang sebetulnya menghalangi oil refinery (kilang minyak).  Karena sebenarnya itu kan bisa dinegosiasikan.  Jadi, tak usah meratapi angka (impor minyak) yang makin bertambah, sementara upaya ke sana tidak pernah konkret.  Itu jawaban saya," ujar Hidayat. 

Berdasarkan catatan ROL, dalam sebuah jumpa pers di kantor Kemenkeu, Jumat 14 Desember 2012, Kemenkeu menolak permintaan insentif fiskal yang diajukan oleh Kuwait Petroleum Corporation dan Saudi Aramco terkait pembangunan kilang minyak di Bontang (Kalimantan Timur) dan Tuban (Jawa Timur). 

Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro mengatakan kedua investor tersebut telah meminta insentif sebelum menuntaskan studi kelayakan (feasibility study/FS). "Secara proses, itu tidak pas.  Jadi, kita lihat FS-nya dulu, baru kita identifikasi insentif apa yang bisa diberikan," tutur Bambang. 

Kala menerima daftar insentif dari kedua investor, Bambang menyebut terlalu banyak permintaan insentif yang kewenangannya berada di luar otoritas Kemenkeu.  Permintaan tersebut meliputi pajak daerah, pajak lahan dan lain sebagainya.  Secara keseluruhan, hal tersebut harus diselesaikan oleh otoritas lain.  "Kita bergerak dalam peraturan yang ada," ujar Bambang. 

Sementara Menteri Keuangan kala itu, Agus Martowardojo mengatakan tidak elok apabila ada investor yang ingin berinvestasi di Indonesia langsung meminta berbagai insentif fiskal.  Namun di sisi lain, pemerintah tidak mengetahui detil investasinya.  Oleh karena itu, studi kelayakan oleh lembaga independen harus dilakukan.

Agus mengatakan jika studi kelayakan telah tuntas, Kemenkeu akan dengan mudah menyusun insentif fiskal yang akan ditawarkan.  Insentif fiskal yang diberikan pun tak perlu sebanyak gambaran studi kelayakan, apabila return on investment (keuntungan netto setelah pajak) telah tercapai.  "Ini perlu kehati-hatian," kata Agus. 

Lebih lanjut, Hidayat mengatakan, Presiden SBY telah meminta agar negosiasi untuk pembangunan kilang oleh investor asal timur tengah tersebut kembali dilanjutkan.  Seberat apapun permintaan investor, kata Hidayat, sudah selayaknya dipenuhi karena terdapat potensi untuk menekan tingginya impor minyak.  "Saya sarankan ada perundingan dan Presiden sarankan menteri-menteri terkait adakan pertemuan dengan mereka (investor)."

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement