EKBIS.CO, MALANG -- Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara mengungkapkan kondisi perekonomian Indonesia sekarang ini ibaratnya sedang masuk bengkel untuk direparasi atau sedang minum obat dari dokter agar segera pulih.
"Dengan menjalani proses reparasi atau minum obat, kondisi perekonomian kita diharapkan segera sembuh total dan tidak sampai menyentuh sektor riil, sebab kalau sektor riil pun 'sakit', maka terjadilah krisis ekonomi," tegasnya disela-sela 'Seminar Riset Stabilitas Sistem Keuangan 2013' di Malang, Jatim, Kamis (28/11).
Ia mengakui pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup, yakni bisa mencapai 6 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2010 hingga 2012. Hanya saja, ketika ekonomi bergerak dan pendapatan masyarakat meningkat, produksi di dalam negeri justru tidak mampu mengimbanginya, sehingga harus impor.
Padahal volume dan nilai impor yang cukup besar akan memicu defisit neraca pembayaran. Pada tahun 2012-2013 bangsa ini mengalami defisit neraca pembayaran akibat nilai impor jauh lebih tinggi dari ekspor.
Untuk mengerem angka impor yang cukup tinggi tersebut, katanya, pemerintah dan pengusaha memang harus bekerja sama untuk mengembangkan industri dalam negeri agar mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, baik bahan konsumsi maupun untuk bahan modal.
Hanya saja, lanjutnya, pengusaha lebih banyak yang memilih instan, yakni impor ketimbang memperluas dan memperkuat produksi dalam negeri karena impor dinilai tidak rumit dan tidak membutuhkan biaya tinggi. Sedangkan untuk memroduksi sendiri, banyak yang harus diurus dan menjadi tanggungan pengusaha, seperti pembangunan (pendirian) pabrik, pengurusan izin dan tenaga kerja.
Oleh karena itu, lanjut Mirza, kalau kurs rupiah terhadap dolar AS antara Rp 11 ribu hingga Rp 11.500, sudah cukup, artinya, cukup untuk menekan impor dan ekspor akan lebih kompetitif.
Jika impor bisa ditekan dan menurun volume maupun nilainya, kata Mirza, defisit neraca pembayaran (neraca berjalan) juga akan turun. Pada kuartal ketiga 2013, neraca pembayaran mencapai 4,4 persen dari PDB.
Untuk jangka pendek yang bisa dilakukan BI dalam merespon tingginya devisa yang keluar akibat impor demi stabilitas di antaranya adalah menaikkan bunga bank, agar keran pembiayaan perbankan untuk impor bisa ditekan. Selain itu, kurs rupiah terhadap dolar AS stabil antara Rp 11 ribu hingga Rp 11.500, program makroprudensial, memberlakukan aturan uang muka atau "Loan to Value ratio" (LTV) guna mengurangi instabilitas keuangan apabila terjadi gagal bayar.
Lebih lanjut Mirza mengatakan kalau pada kuartal ketiga defisit neraca pembayaran mencapai 4,4 persen dari PDB, tahun depan ditargetkan bisa turun menjadi 2 atau 2,5 persen dari PDB. Jika defisit menurun, maka kurs rupiah terhadap dolar AS juga akan membaik dengan sendirinya. "Oleh karena itu, kita tidak perlu terlalu khawatir dengan kurs rupiah terhadap dolar AS," tegasnya.