EKBIS.CO, KUTA -- Deputi Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Karl Brauner meminta parlemen di negara-negara anggota menggunakan pengaruh politiknya selama pelaksanaan Konferensi Tingkat Menteri WTO di Bali pada 3-6 Desember 2013.
"Saya berharap Anda di parlemen mau menggunakan pengaruh politik di sini," katanya dalam Konferensi Parlemen WTO di Kuta, Kabupaten Badung, Senin (2/12).
Menurut dia, WTO di bawah kepemimpinan Roberto Azevedo sebagai direktur jenderal telah menjamin transparansi dalam setiap pembahasan kebijakan perdagangan internasional.
"WTO terbuka terhadap kritik termasuk adanya keluhan mengenai 'green room' yang pemilihan keanggotannya tidak jelas dan penuh dengan rahasia," ujarnya.
Brauner menyatakan bahwa pola-pola seperti itu sudah ditinggalkan. "Bahkan setiap kali pembahasan, kami melibatkan 200 orang dengan menunjukkan naskah yang secara terbuka mereka bisa lihat perubahannya kata per kata," ujarnya.
Ia menganggap pola interaksi antarnegara anggota WTO sebelumnya tidak semaju sekarang ini. "Orang-orang yang duduk di WTO di Jenewa bekerja keras setiap hari. Sabtu dan Minggu pun kami bekerja," katanya.
Demikian juga Paket Bali yang akan diputuskan dalam KTM WTO juga menjadi perhatiannya untuk menjamin transparansi dan inklusivitasnya.
Brauner mengemukakan bahwa negara-negara miskin bisa membuka akses pasar dan impor berbagai komoditas, kecuali persenjataan, sangat memungkinkan untuk disepakati dalam KTM WTO yang digelar di Nusa Dua selama tiga hari ke depan.
"Demikian juga fasilitasi perdagangan (termasuk poin Paket Bali), kami berusaha membantu penyederhanaan birokrasi di negara-negara berkembang. Bahkan negara-negara di Afrika meminta masalah ini harus berhasil dirumuskan di Bali," ujarnya.
Masalah pertanian dan ketahanan pangan, lanjut dia, WTO akan menjamin sistem transparansinya sehingga tidak ada negara, terutama negara berkembang dan negara miskin, yang dirugikan dari perjanjian itu.
Menanggapi hal tersebut, Ketua DPR Marzuki Alie menyatakan bahwa WTO harus menghargai nasionalisme setiap negara anggota. "Nasionalisme memang harus ditumbuhkan dalam WTO agar perjanjian perdagangan tidak merugikan satu negara dengan negara lainnya," ujarnya.