EKBIS.CO, PALEMBANG -- Pelarangan ekspor mineral mentah seharusnya diterapkan sesuai rencana. Ekonom menilai setidaknya ada tiga keuntungan yang bisa diraih pemerintah jika kebijakan itu dijalankan.
Pertama, kata pengamat ekonomi UI Muslimin Anwar, betapa banyak devisa negara yang akan diselamatkan. Ini mengingat, jelas dia, ketergantungan impor besi baja Indonesia masih tinggi."Konsumsi besi baja nasional pada tahun 2013 yang sekitar 10 juta ton itu tak mampu dipenuhi industri besi dan baja dalam negeri," kata Muslimin, Jumat (10/1).
Dari aluminium, papar dia, kebutuhan nasional terus naik, kini antara 900 ribu sampai satu juta ton pada 2014. Jika barang-barang ini diproduksi di dalam negeri, maka akan menghemat devisa negara.
Kedua, kebijakan ini akan berdampak kepada kewajiban mengolah bauksit menjadi alumina, ketimbang mengeskpor mineral bauksit mentah. Hal ini tentunya berdampak positif karena akan memperkuat industri hlir aluminium.
Bagi Indonesia yang menjadi negara penghasil bijih nikel terbesar ketiga di dunia, menurut Muslimin, penerapan kebijakan untuk pengolahan dan pemurnian bijih nikel sangat diperlukan. Dampak positifnya adalah akan semakin banyak pabrik pengolahan dan pemurnian mineral terbangun di dalam negeri, mengingat saat ini setengah produksi bijih nikel tersebut harus diekspor ke China.
Keuntungan ketiga, Muslimin menyebut penghentian ekspor sementara bauksit akan menurunkan jumlah pasokan di pasar komoditas internasional. Hal ini akan berdampak kepada perbaikan harga yang masih dianggap rendah saat ini."Penerapan UU Minerba pada 12 Januari nanti diharapkan akan membentuk mekanisme pasar baru yang dapat memperbaiki harga jual komoditas SDA (sumber daya alam) kita," kata Muslimin.
Kekhawatiran sebagian pihak bahwa negara akan kehilangan potensi pendapatan negara hingga US$ 4,5 miliar dari ekspor bijih mineral tidak perlu dibesar-besarkan. Muslimin beralasan, ada potensi keuntungan yang berlipat ganda dikemudian hari di balik kebijakan ini.