EKBIS.CO, JAKARTA -- Kementerian Keuangan menyatakan, posisi utang pemerintah dapat dijaga pada tingkat yang aman meskipun dari sisi jumlah terdapat kenaikan dari Rp1.590,66 triliun pada akhir 2009 menjadi Rp2.371,39 triliun pada akhir 2013.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Yudi Pramadi dalam keterangan persnya di Jakarta, Kamis, menyebutkan, kenaikan outstanding utang itu disebabkan oleh realisasi kebutuhan pembiayaan APBN maupun sebagai dampak melemahnya kurs rupiah, mengingat sebagian utang pemerintah adalah dalam mata uang asing.
Ia menyebutkan hampir semua negara di dunia melakukan utang. Utang merupakan instrumen fiskal dalam rangka mencapai target-target ekonomi makro, terutama pertumbuhan ekonomi dan pengurangan tingkat pengangguran. Utang Pemerintah yang digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan produktif seperti pembangunan infrastruktur dapat memberikan efek ganda dalam menggerakkan perekonomian nasional.
Besaran utang pemerintah setiap tahunnya dibahas dalam proses penyusunan RUU APBN dimana besarnya utang terutama akan dipengaruhi oleh besaran defisit APBN yang ditetapkan. Seberapa besar Pemerintah boleh berutang diatur dalam Undang-undang Keuangan Negara yaitu: (i) batas maksimal defisit APBN dan APBD adalah tiga persen dari PDB; (ii) total outstanding (jumlah) utang pemerintah maksimal 60 persen dari PDB.
Rasio-rasio yang merujuk pada standar "Maastricht Treaty" itu dinilai akan dapat menjaga utang pemerintah dalam batas yang masih dapat dikelola dengan baik (managable) dan menjamin keberlanjutan fiskal.
Realisasi defisit APBN tahun 2010 adalah sebesar 0,73 persen, tahun 2011 sebesar 1,14 persen, dan tahun 2012 sebesar 1,86 persen dari PDB. Adapun realisasi sementara defisit APBN 2013 adalah 2,24 persen, dan turun menjadi 1,7 persen pada APBN tahun 2014.
Tingkat defisit APBN tersebut masih relatif rendah dan dikonfirmasi oleh berbagai lembaga rating sebagai salah satu kunci Indonesia dapat mempertahankan level credit rating-nya dengan outlook minimal stable di tengah banyak negara mengalami downgrade maupun penurunan outlook sebagai dampak krisis perekonomian global.
Fitch, misalnya, menggarisbawahi bahwa Pemerintah Indonesia mengelola fiskalnya dengan sangat disiplin. Sementara itu Moody's menilai bahwa fiskal pemerintah cukup kuat sejalan dengan beban utang yang rendah dan defisit yang terjaga.
Menurut Yudi, untuk secara objektif menilai level utang Pemerintah Indonesia, perlu dilihat beberapa indikator kunci yaitu, pertama, rasio utang Pemerintah terhadap PDB di akhir tahun 2013 adalah sekitar 26 persen (dengan outlook PDB tahun 2013 sebesar Rp9.112,4 triliun), turun dari 28,3 persen pada akhir tahun 2009.
Rasio utang terhadap PDB sekitar 26 persen itu tidak saja masih jauh lebih rendah daripada batas yang diperkenankan oleh Undang-undang Keuangan Negara maupun standar Maastricht Treaty sebesar 60 persen, namun juga jauh lebih rendah dibandingkan rasio utang terhadap PDB dari negara-negara lain, misalnya Jepang sekitar 243 persen, Amerika Serikat sekitar 106 persen; Thailand sekitar 47 persen; Malaysia sekitar 57 persen; dan Filipina sekitar 41 persen.
"Besaran rasio-rasio utang Pemerintah Indonesia tersebut masih dalam batas-batas aman yang menjamin keberlanjutan fiskal," kata Yudi.
Sebagai dampak dari kebijakan fiskal Pemerintah, termasuk di dalamnya pengelolaan defisit anggaran yang terkendali, serta kebijakan Pemerintah lainnya, kapasitas perekonomian Indonesia terus tumbuh, antara lain ditunjukkan oleh kenaikan PDB dari Rp5.613,4 triliun pada tahun 2009 menjadi sekitar Rp9.112,4 triliun pada tahun 2013 (outlook).
Demikian pula pendapatan per kapita naik dari Rp23.927.460,7 pada tahun 2009 menjadi Rp36.697.846,4 pada tahun 2013 (outlook). Hal itu menunjukkan kemampuan perekonomian Indonesia yang semakin besar untuk membayar kewajiban utangnya dengan tanpa mengorbankan keberlanjutan fiskal.