Rabu 09 Oct 2024 09:29 WIB

Deflasi Bikin Worry, Tiga Solusi Ini Bisa Diuji

Tiga solusi yakni perbaiki pertanian, galakkan ekonomi sirkular, dan kendali impor.

Red: Lida Puspaningtyas
Pedagang melayani pembeli di Pasar Rumput, Jakarta, Senin (2/9/2024). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,03% (month to month/mtm) pada Agustus 2024. Ini adalah deflasi empat bulan beruntun sejak Mei 2024. BPS menilai, deflasi yang terjadi selama empat bulan berturut-turut di sepanjang 2024 utamanya disebabkan oleh pasokan yang berlimpah.
Foto: Republika/Prayogi
Pedagang melayani pembeli di Pasar Rumput, Jakarta, Senin (2/9/2024). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,03% (month to month/mtm) pada Agustus 2024. Ini adalah deflasi empat bulan beruntun sejak Mei 2024. BPS menilai, deflasi yang terjadi selama empat bulan berturut-turut di sepanjang 2024 utamanya disebabkan oleh pasokan yang berlimpah.

EKBIS.CO,  JAKARTA -- Anggota DPR RI dari Partai Nasdem, Rachmat Gobel, mengusulkan tiga solusi untuk mengatasi deflasi yang menimpa Indonesia.

“Tiga solusi itu adalah memperbaiki pertanian, menggalakkan ekonomi sirkular, dan mengendalikan impor,” katanya, Rabu (9/10/2024).

Baca Juga

Gobel menyampaikan hal itu menanggapi data BPS yang menunjukkan deflasi yang sedang menimpa Indonesia dalam lima bulan secara berturut-turut. Deflasi adalah peristiwa turunnya harga-harga barang akibat menurunnya daya beli masyarakat.

Walau sudah mengalami deflasi, masyarakat tetap tak melakukan aksi beli karena masyarakat tak memiliki cukup uang. Kondisi ini merupakan yang terburuk dalam satu dekade ini. Deflasi mulai terjadi pada bulan Mei, sebesar 0,03 persen, lalu Juni 0,08 persen, Juli 0,18 persen, Agustus 0,03 persen, dan September 0,12 persen.

Indonesia terus didera kondisi ekonomi yang memprihatinkan seperti gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), tutupnya sejumlah industri manufaktur, dan banjir barang-barang impor. Selain itu, jumlah kelas menengah Indonesia yang terus anjlok dan fenomena mantab alias makan tabungan, yaitu masyarakat mulai menggunakan tabungannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena menurunnya pendapatan.

“Semua ini terjadi akibat salah kelola ekonomi serta kebijakan ekonomi yang mengandung unsur fraud dan moral hazard,” kata Gobel.

“Situasi ini tak hanya bersifat struktural tapi juga menyangkut tata nilai. Jadi rusaknya sangat sistemis dan masif. Sehingga butuh solusi mendasar tapi juga sekaligus kreatif dan berdimensi masa depan,” katanya.

Gobel mengatakan, situasi yang sedang dihadapi Indonesia tak hanya mengancam target pertumbuhan ekonomi Indonesia tapi juga bisa menjungkalkan Indonesia untuk masuk ke dalam negara berkategori middle income trap.

“Indonesia sudah lama masuk ke dalam negara berpendapatan menengah, sudah lebih dari 20 tahun, dan masih jauh untuk bisa di atas 10 ribu dolar AS untuk lepas dari negara berpendapatan menengah. Indonesia bukan makin masuk sebagai negara industri, tapi justru mengalami deindustrialisasi. Di Asia Tenggara, beruntung masih ada negara seperti Laos, Myanmar, dan Kamboja, sehingga kita masih bisa senang secara palsu. Tapi jika melihat ke Vietnam, maka kita bisa sesak napas,” katanya.

Gobel mengaku sengaja menyampaikan penilaian dan fakta tersebut dengan diksi apa adanya karena masyarakat jangan terus dininabobokan dengan eufimisme.

“Saya juga bukan hendak membangun pesimisme, tapi justru pada kesempatan ini saya ingin memompakan semangat dan optimisme dengan terus mencarikan solusi yang terbaik. Ini soal pilihan dan kemauan saja. Pilihannya ada, kemauan pun pasti ada, maka langkah selanjutnya berani atau tidak. Karena pasti ada pihak-pihak yang akan menikmati keadaan yang buruk ini dan mereka menolak perbaikan,” katanya.

Adapun tentang tiga solusi itu, Gobel menerangkan tentang vitalnya solusi pertama, yaitu memperbaiki sektor pertanian. Ada tiga fakta tentang sektor ini.

Pertama, data BPS 2022 mencatat ada 40,64 juta petani di Indonesia, atau 29,96 persen dari total jumlah penduduk yang bekerja. Sektor pertanian adalah sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Kedua, separo penduduk miskin di Indonesia bekerja di sektor pertanian. Artinya, mayoritas penduduk miskin di Indonesia adalah petani.

Ketiga, pertanian adalah menyangkut ketahanan nasional karena ini menyangkut perut penduduk. Tidak ada negara besar yang kuat dan maju yang pangannya tergantung pada negara lain. Keempat, membaiknya sektor pertanian akan menggerakkan ekonomi nasional.

“Sektor pertanian butuh solusi komprehensif, bukan solusi tambal sulam. Jika sektor pertanian bisa diperbaiki, maka separo masalah sudah bisa diatasi dan fondasi ekonomi bisa lebih kokoh. Korea, China, dan Jepang, memulai dengan membenahi sektor pertaniannya terlebih dulu sebelum beranjak ke sektor industri,” katanya.

Ia juga mengingatkan bahwa problem pertanian bukanlah soal cukup-tidak cukupnya luas lahan pertanian, tapi masalah produktivitas hasil pertanian.

“Lahan kita masih cukup, tinggal bagaimana produktivitas dinaikkan hingga dua kali lipat. Jadi yang harus dilakukan adalah intensifikasi dan modernisasi pertanian secara optimal,” katanya.

Perluasan lahan pertanian memang bisa berpotensi menaikkan jumlah hasil panen, namun hal itu tak akan mengurangi angka kemiskinan. “Jadi isunya bukan sekadar terpenuhi kebutuhan pangan nasional tapi yang lebih penting lagi adalah mengentaskan kemiskinan dan menyejahterakan petani serta menggerakkan ekonomi nasional,” katanya.

Solusi kedua, kata Gobel, adalah pengendalian impor. Saat ini, katanya, Indonesia sedang dibanjiri barang-barang impor. Dalam teori ekonomi, katanya, membeli barang berarti membeli waktu, membeli upah buruh, serta membeli temuan dan inovasi penciptaan barang. Sehingga jika membeli barang impor yang barang itu sebetulnya sudah bisa diproduksi di dalam negeri, maka sejatinyanya ada banyak kerugian yang diderita sebuah bangsa dan negara.

“Ini bukan hanya hilangnya devisa dan menciptakan pengangguran, tapi mematikan kreativitas, daya cipta manusia, dan pemuliaan manusia sesama anak bangsa,” katanya.

Puncak dari kekacauan regulasi impor adalah lahirnya Permendag No 8 Tahun 2024 yang menghilangkan persyaratan pertimbangan teknis dalam impor barang serta meloloskan sekitar 28 ribu kontainer yang diduga masuk tanpa ada persetujuan impor.

Karena Permendag No 8 Tahun 2024 sudah telanjur lahir, Gobel menyetujui wacana pengendalian impor dengan memindahkan pintu masuk barang impor. “Pindahkan ke pelabuhan-pelabuhan di Indonesia timur. Ini sekaligus menciptakan pemerataan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja bagi penduduk di Indonesia timur,” katanya.

Apalagi, sesuai data yang ada, kontribusi kawasan Indonesia timur terhadap PDB Indonesia sangat rendah. Kontribusi kawasan Indonesia barat, yaitu Sumatra dan Jawa, terhadap PDB adalah 79,70 persen. Sedangkan sisanya yang jauh lebih kecil merupakan kontribusi dari kawasan Indonesia timur, yaitu kontribusi Kalimantan terhadap PDB hanya 8,21 persen, Sulawesi 6,73 persen, Bali dan Nusa Tenggara 2,75 persen, serta Maluku dan Papua 2,61 persen. “Jadi dengan memindahkan pintu masuk impor akan banyak berkontribusi bagi pertumbuhan dan pemerataan ekonomi,” katanya.

Namun demikian, Gobel mengingatkan tentang rusaknya suatu bangsa akibat banjir impor ini, “Salah satu faktor terpenting penyebab rusaknya ekonomi nasional adalah karena rezim pedagang dan penambang menguasai kebijakan ekonomi. Mereka itu ibarat tukang mindahin barang dan tukang gali saja. Di sana tidak ada daya cipta sama sekali. Padahal negara besar dan peradaban besar lahir dari minoritas kreatif yang melakukan inovasi dan membuat barang. Daya cipta adalah energi kemajuan peradaban,” katanya.

Peradaban modern, katanya, lahir karena hadirnya pola pikir baru yang kemudian menciptakan mesin uap. Sehingga lahir revolusi industri. “Peradaban modern bukan lahir dari ditemukannya tambang emas, tambang minyak, tambang batubara, atau tambang nikel, tapi dari ditemukannya mesin uap. Ini hanya lahir dari proses mencipta,” katanya.

Melalui pengendalian impor, katanya, lapangan kerja tercipta, industri berkembang, investasi meningkat, pertumbuhan ekonomi terkelola, dan kesejahteraan masyarakat terbangun.

Gobel juga mengingatkan tentang pentingnya menaikkan ekspor dengan kerja sama semua pihak, yaitu swasta, BUMN, kementerian perdagangan, dan kementerian perindustrian, dengan memanfaatkan ITPC (Indonesian Trade Promotion Center). Hal ini akan meningkatkan marketing produk Indonesia, terutama untuk bisa memaksimalkan kontribusi UMKM. Dengan demikian, selain ada pengendalian impor juga ada penguatan ekspor.

Adapun solusi ketiga, kata Gobel, adalah dengan menghidupkan ekonomi sirkular. Ekonomi sirkular adalah suatu model atau sistem ekonomi melingkar yang bertujuan untuk memaksimalkan kegunaan dan nilai tambah suatu bahan atau produk sehingga mampu mereduksi jumlah buangan dan meminimalkan kerusakan sosial dan lingkungan. Melalui ekonomi sirkular, katanya, lapangan kerja tercipta, UMKM tumbuh, limbah tereduksi, dan alam terjaga kelestariannya.

“Saya berharap pemerintahan baru Pak Parbowo Subianto nanti mampu menjawab tantangan ekonomi ke depan dengan menggotong asas ketahanan nasional, kedaulatan bangsa, kemakmuran bersama, pemuliaan manusia Indonesia, dan kelestarian lingkungan,” kata Gobel.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement