EKBIS.CO, JAKARTA -- Rencana Pertamina mengakuisisi PT Bukit Asam Tbk (PTBA) ditanggapi negatif dari kalangan pelaku pasar. Menurut pengamat energi, Kurtubi, rencana akuisisi itu sebaiknya dibatalkan.
Pasalnya, menurut Kurtibi, kurang tepat jika perusahaan minyak mengakuisisi perusahaan batubara yang notabene-nya juga BUMN.
"Kalau memang nantinya tetap mau melakukan akuisisi, ini akan merusak sistem dan memperparah pelanggaran terhadap konstitusi dan merusak tata kelola batubara di negeri ini secara benar," kata Kurtubi ketika dihubungi wartawan di Jakarta, Rabu (5/2).
Justru, Kurtubi beranggapan pemerintah ke depannya harus mengarahkan agar Indonesia memiliki perusahaan negara di bidang batubara yang mengelola batubara nasional secara maksimal.
"Arah ke depannya nanti harus dibesarkan perusahaan batubara milik negara, apakah itu nanti Bukit Asam atau yang lainnya," katanya.
"Yang jelas," ucap Kurtubi, "Negara harus punya perusahaan negara di bidang batu bara dan bukan justru diakuisisi oleh Pertamina."
Kurtubi berpendapat, jika akuisisi tersebut terealisasi bakal lahir beberapa kerugian. Salah astunya peluang negara untuk memperbaiki sistem tata kelola batubara bakal lenyap.
"Yang jelas adalah Pertamina itu bukan di sektor batubara, tapi di sektor perminyakan, bukan menyimpang ke sektor lain," katanya menegaskan.
Wacana Pertamina mengakuisisi PTBA terungkap dalam salah satu isi dokumen 'Pertamina 2025 The Asian Energy Champion 2025' yang beredar di kalangan wartawan.
Dalam dokumen itu tersirat rencana Pertamina di bisnis batubara. Disebutkan, Pertamina akan membuka potensi nilai yang terkandung dalam kekayaan alam Indonesia yang melimpah melalui dua cara.
Pertama dengan mengakuisisi PTBA, yang sekarang memegang porsi signifikan dari berbagai sumber daya batu bara Indonesia namun belum dikembangkan dan dieksplorasi. Kedua, menjadi pemimpin di Asia Tenggara dalam teknologi batubara menjadi gas (coal to gas) dan batubara cair (coal to liquids).
Sedangkan di bidang listrik disebut, Merintis opsi-opsi pertumbuhan: peluang-peluang sangat penting yang harus dikejar, namun dengan risiko lebih tinggi atau digerakkan teknologi. Yaitu pembangkit tenaga listrik konvensional: memasuki pasar listrik melalui IPP di pembangkitan tenaga listrik, memasok jaringan, dan sebagainya.