Kamis 27 Feb 2014 12:56 WIB

Pengusaha Minta Pemerintah Bijak Soal Kenaikan Royalti

Red: Karta Raharja Ucu
Dalam berbisnis prinsip terpenting adalah pengelolaan casflow.
Foto: bacny.com
Dalam berbisnis prinsip terpenting adalah pengelolaan casflow.

EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah diminta lebih adil dalam membuat kebijakan, termasuk membuat kebijakan kenaikan royalti. Peneliti Indonesian Resourches Studies (IRESS), Marwan Batubara menilai pemerintah harus melihat kondisi lapangan, sebab para pengusaha juga tidak hanya berpikir menaikkan royalti demi menggenjot pendapatan.

"Saya kira harus ada bahwa keadilan itu harus ditegakkan," kata Marwan. Sehingga, kata Marwan membuat kebijakan tidak hanya berdasarkan ego sepihak, baik dari sisi pengusaha maupun pemerintah.

"Jadi tidak bisa juga kebijakan itu berdasarkan pokoknya jadi itu aturan. Tapi harus ada dasar," ucap Marwan.

Tapi yang terpenting menurut Marwan adalah kebijakan yang dibuat pemerintah harus adil untuk semua pihak. Negara mendapat pemasukan, pengusaha juga tak dirugikan. "Saya rasa yang adil kalau baik negara dan pemerintah diuntungkan, kalau itu ya silakan," ujarnya.

Royalti untuk pemegang IUP itu disetarakan dengan KK dan PKP2B secara logika memang bisa diterima karena dari sisi postur bisnis tidak bisa disamakan dengan koperasi. Hanya, dari sisi kemampuan bisnis, itu juga harus jadi pertimbangan. "Kalau mereka memiliki sekian ribu hektar berarti mereka itu sudah mampu," ucap dia.

 

Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia sebelumnya meminta pemerintah tidak terlalu besar dalam menaikan royalti pertambangan mineral dan batubara untuk kontraktor IUP disamaratakan dengan KK dan PKP2B. Sebab jika disamakan dengan pertambangan besar, maka pengusaha tambang kecil akan merasa berat untuk berproduksi. Belum lagi banyaknya pungutan-pungutan liar yang terjadi di lapangan.

"Biasanya pungli terjadi saat proses pengangkutan di jalan. Kalau PKP2B dilindungi kontrak sehingga tidak berani ada yang pungli," ujar Direktur Eksekutif APBI, Supriatna Suhala.

Saat ini, kata Supriatna, royalti yang dikenakan ke PKP2B adalah 13,5 persen. "Kita tidak keberatan kalau pemerintah menaikan royalti, tapi formulasinya tidak sebesar angka tersebut."

Menurut Supriatna, idealnya jika harga batubara minimal 100 dolar AS per ton baru tidak masalah kalau mau dinaikan ke 13,5 persen. "Jadi kalau di atas harga USD100 kita tidak keberatan naik," kata dia.

Belum lagi kata Supriatna, khususnya untuk pemerintah Aceh akan menerapkan Perda (Qanun) Pertambangan Minerba. "Kalau pusat menaikan, ditambah lagi Qanun Aceh, itu bisa sampai 20,5 persen. Makin berat jadinya," ucap dia.

Sedangkan Forum Komunikasi Pengusaha Tambang Aceh tidak keberatan dengan Qanun (Perda) Pemprov NAD berkaitan dengan royalty pertambangan 3,5-6 persen diterapkan. Asalkan pemerintah pusat tidak menaikan royalty yang sudah ada khusus untuk pengusaha tambang di Bumi Serambi Mekah tersebut sebesar tiga, lima, dan tujuh persen yang bergantung kalori batubara.

"Prinsipnya kita setuju Qanun, tapi kita minta pusat jangan menaikan royalty," ujar Ketua Bidang Umum, Zen Zaeni Ahmad.

Karena, kata Zen, pemerintah pusat berencana menaikan royalty sama dengan kontraktor PKP2B sebesar 13,5 persen. "Alih-alih menciptakan situasi yang semakin kondusif. Rencana ini akan semakin menambah beban royalti pengusaha di Aceh," jelas Zen.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement