EKBIS.CO, JAKARTA -- Ekonom Senior Standard Chartered Bank Fauzi Ichsan mengatakan harga BBM bersubsidi harus mengalami kenaikan, untuk mengurangi beban belanja subsidi dan menekan defisit anggaran. "Kalau harga BBM tidak dinaikkan, ada risiko APBN melampaui tiga persen dari PDB, padahal itu batasan dalam UU," katanya dalam pemaparan di Jakarta, Rabu (16/4).
Fauzi mengatakan pemerintahan saat ini atau selanjutnya, harus menaikkan harga BBM bersubsidi karena telah terjadi selisih harga keekonomisan BBM dengan harga minyak dunia yang cukup besar. "Selisih harga ini bisa memicu penimbunan maupun penyelundupan, namun kenaikan harga BBM bisa menaikkan inflasi dan membuat Bank Indonesia sulit untuk menurunkan suku bunga," katanya.
Menurut dia, kenaikan harga BBM bersubsidi pada Juni 2013 belum memadai untuk menekan belanja subsidi energi, karena konsumsi masyarakat terhadap bensin maupun solar bersubsidi tetap tinggi. "Sekarang ini, subsidi BBM itu salah sasaran karena 80 persen masih dinikmati kelas menengah atas. Selain itu, impor migas Indonesia menjadi tinggi," kata Fauzi.
Ia memastikan apabila penghematan belanja subsidi energi bisa dilakukan, maka pemerintah memiliki dana yang memadai untuk program infrastruktur yang lebih bermanfaat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. "Pemerintah bisa memiliki amunisi fiskal untuk membangun proyek, terutama bagi masyarakat miskin, atau kawasan pedesaan yang bisa menyerap tenaga kerja," ujar Fauzi.
Ia memperkirakan DPR setuju dengan kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM, karena kondisi ini merupakan situasi yang tidak terhindarkan untuk menjaga defisit anggaran dalam APBN. Fauzi mengatakan pemerintah bisa melakukan kenaikan harga BBM pada bulan-bulan ketika terjadi inflasi rendah, terutama pada September maupun Oktober 2014.
"Ini bisa dilakukan pada triwulan tiga. Kami memperkirakan inflasi bisa mencapai 7,5 persen-8 persen kalau terjadi kenaikan harga BBM," katanya.