EKBIS.CO, Penggunaan mata uang rupiah sebagai alat pembayaran di Indonesia adalah harga mati. Luput memperjuangkan rupiah di satu pulau, pulau tersebutlah taruhannya. Kasus sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan contohnya. Kedua pulau milik Indonesia itu dicaplok Malaysia karena salah satu alasannya adalah mata uang ringgit yang dipakai disana.
Mencegah berulangnya kasus tersebut, Bank Indonesia (BI) membuat agenda tahunan yakni Bhakti Kesejahteraan Rakyat (Bhakesra). Dengan bermodal Rp 10 miliar, BI kembali menggelar program Bhakesra. Kali ini Pasar Snon Bukor, Waisai di Kepulauan Raja Ampat dipilih sebagai tempat penukaran.
Uang yang diangkut di kapal, dipindahkan ke mobil. Penukaran dilakukan di mobil dengan jendela yang terbuka. Ketika mobil diparkir, warga sekitar langsung mengerubungi. Mereka membawa uang dalam kepalan tangannya. Tak terlihat ada yang membawa dompet. "Tipikal masyarakat kita menggunakan uang sangat mengkhawatirkan. Ditaruh begitu saja," ujarnya.
Nursiyah (36 tahun) contohnya. Ia datang ke tempat penukaran sambil menggenggam uangnya yang digulung. Ketika ia membuka kepalannya, ternyata uang di tangannya yang sebanyak Rp 48 ribu itu benar-benar sudah lusuh. Beberapa di antaranya malah sudah sobek sebagian sehingga tidak diterima kasir. Uang yang bagian utuhnya kurang dari 2/3 bagian memang tidak bisa diterima BI.
Petugas BI mengingatkan Nursiyah agar tidak melipat uang serta menyimpannya secara rapi. "Dari awal dapat uang itu, memang sudah lecek," ujar Nursiyah berkilah. Akhirnya ia hanya mendapat Rp 44 ribu. Namun sepertinya ia tak mendengar ucapan petugas. Uang yang ia dapat langsung ia lipat dan gulung.
Antrean semakin panjang. Di antara ibu-ibu yang sedang mengantre, ada seorang anak lelaki. Ia datang dengan uang yang sangat kotor karena getah pinang. "Bawa uang berapa dek?" ujar petugas. "Tidak tahu pak." Rupanya ia disuruh orang tuanya menukarkan uang tersebut.
Setelah dua jam bertugas, tim penukaran uang memutuskan untuk berhenti. Tiba-tiba ada seorang bapak berlari ke arah mobil. Ia bertanya, "Disini bisa tukar uang rusak?". "Bisa pak," jawab petugas. Ia pun segera berlari ke rumah. Selang 15 menit, ia datang kembali dengan uang Rp 50 ribu. "Yang seperti ini masih bisa ditukar tidak, pak?" tanyanya.
Petugas pun mengecek tingkat kerusakan dan keaslian uang tersebut. Uang berwarna biru itu sudah lusuh dan sebagiannya terpotong. Untung saja masih memenuhi syarat penukaran. Bapak tersebut akhirnya mendapatkan uang Rp 50 ribu baru. Uangnya kembali bernilai. "Terima kasih banyak, pak," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
Hari itu BI berhasil menukarkan uang sejumlah Rp 80 juta dalam waktu yang terbilang singkat. Sisa modal awal masih banyak. BI menawarkan sisanya pada bank. Hanya ada satu bank di Waisai, ialah PT Bank Pembangunan Daerah Papua.
Kepala Cabang BPD Papua cabang Waisai, Asromy, mengatakan, menjelang lebaran kebutuhan uang kecil meningkat. Ia memutuskan untuk menukaran uang pecahan besar dengan uang pecahan kecil sejumlah Rp 1,2 miliar. "Hari raya 200 juta sudah cukup. Cuma harus ada stok juga. Sekalian saya ambil saja," ujarnya.
Asromy mengatakan bahwa pihaknya juga menerima penukaran uang rusak dari penduduk. Ia pun mengakui penduduk Papua menyimpan uang secara asal. "Ada orang yang menyimpan uang di koteka. Dibuntel-buntel dimasukan," ujarnya. Hal tersebut sudah menjadi kebiasaan.
BI meminta agar kebiasaan menyimpan uang sembarangan dihentikan. Uang harus disimpan secara baik agar tidak mudah rusak. Pasalnya, biaya pembuatan uang dan penyebarannya tidaklah murah.