EKBIS.CO, JAKARTA - Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Hendrik Siregar, mengatakan isu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) merupakan jebakan subsidi yang terjadi secara terus menerus sejak era pascareformasi.
Jebakan itu terjadi bukan hanya disebabkan persoalan produksi minyak, melainkan adanya UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas (Migas).
Undang-undang itu menjadi titik untuk kenaikan BBM atau subsidi BBM. Salah satu mandat undang-undang tersebut bahwa penentuan harga BBM tidak boleh lagi sama dengan harga pasar.
Namun, justru menjadikan liberalisasi sektor hilir dengan dibukanya pengusaha-pengusaha swasta seperti petronas dan shell.
Pada saat harga premium di Indonesia hanya Rp 1.600, perusahaan itu menjual BBM di negaranya seharga Rp 6.000.
Pelan tapi pasti harga disesuaikan dengan perusahaan-perusahaan itu. Isu digeser ke subsidi, sementara pemerintah memberikan kesempatan perusahaan asing untuk jualan BBM.
"Ini salah satu kenapa BBM dinaikkan dan digeser ke isu subsidi," jelas Hendrik dalam diskusi bertema Pilih Berantas Mafia Sumber Daya Alam atau Naikkan BBM, di Rumah Makan Dapur Selesar, Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (3/9).