EKBIS.CO, JAKARTA -- Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan sektor investasi bisa menjadi salah satu komponen utama penyumbang pertumbuhan ekonomi 2015 yang diproyeksikan pada kisaran 5,8 persen.
"Potensi dan minat investor besar untuk Indonesia, tinggal kita merealisasikannya bagaimana," katanya di Jakarta, Jumat.
Menkeu mengatakan untuk mewujudkan pertumbuhan investasi tersebut, pemerintahan baru harus mampu menyediakan iklim investasi dan birokrasi yang memadai, agar Indonesia dapat benar-benar menarik minat investor asing.
"Kalau mau direalisasikan isu-isu yang dari dulu menjadi masalah harus diselesaikan seperti tanah dan listrik, seperti itu. Hambatan birokrasi juga, mudah-mudahan BKPM akan membantu," ujarnya.
Sebelumnya, Bank Pembangunan Asia (ADB) dalam laporan terbarunya, memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan membaik dari 5,3 persen pada paruh pertama 2014 menjadi 5,8 persen pada 2015.
Deputy Country Director ADB Indonesia Edimon Ginting menjelaskan membaiknya perekonomian di Indonesia sebagian besar akan berasal dari reformasi mendasar yang dilakukan oleh pemerintahan baru.
"Asumsi kami pemerintah baru akan lebih reformis, melakukan beberapa perbaikan di sisi infrastruktur, memperbaiki iklim investasi, reformasi birokrasi, dan akan sedikit punya ruang lebih besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan fiskal," ujarnya.
Perkiraan tambahan pertumbuhan sebesar 0,5 persen di 2015 didasari oleh asumsi membaiknya perekonomian berbagai negara industri utama yang diharapkan mampu memicu sektor ekspor serta investasi.
Pertumbuhan konsumsi swasta diproyeksikan tetap kuat. Inflasi yang rendah mendukung konsumsi tahun ini dan pemerintah diperkirakan akan menggunakan kebijakan transfer dana untuk kelompok berpenghasilan rendah yang terdampak oleh kenaikan harga bahan bakar pada 2015.
Investasi swasta diprediksi akan membaik didukung oleh keberhasilan proses pemilihan umum dan harapan bahwa pemerintah baru akan mereformasi kebijakan. Pertumbuhan pinjaman investasi akan tetap tinggi sebesar 30 persen meskipun kebijakan moneter diperketat.