EKBIS.CO, JAKARTA -- Kenaikkan harga BBM belum tentu akan mengurangi impor minyak jika tidak diikuti dengan kebijakan pembangunan transportasi publik.
Peneliti Ekonomi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Latif Adam mengatakan kebijakan BBM tidak bisa berdiri sendiri. Perlu ada kebijakan lanjutan yang mampu mendorong agar kenaikan harga BBM benar-benar bisa mengurangi impor, yang berujung pada mebaiknya transaksi bejalan Indonesia.
Dia mengatakan pemerintah perlu membuat kebijakan lebih konkret dengan membuat alternatif energi yang bisa diperbarui dan memperbaiki transportasi publik. Latif menjelaskan ketika harga BBM dinaikkan, masyarakat akan cenderung menggunakna transportasi publik yang lebih murah. Namun, jika transportasi umum tidak diperbaiki, masyarakat kembali akan menggunakan kendaraan yang mendorong konsumsi BBM.
"Bisa jadi nanti BBM menjadi price in elasticity yang dampaknya akan temporer, ini tidak menyelesaikan masalah," ujar Latif, saat dihubungi Republika, Jumat (14/11).
Rencana pemerintah menaikkan harga BBM dianggap sebagai salah satu cara untuk mengurangi impor BBM. Hingga kuartal ketiga, neraca migas Indonesia telah defisit 9,076 miliar Dollar AS. Pada kuartal ketiga saja, Indonesia mengimpor 29 juta liter minyak mentah dan 58,9 juta liter produk kilang. Selama kuartal ketiga, Indonesia mengimpor senilai 9,6 miliar Dollar AS.
Kepala Departemen Statistik BI Hendi Sulistyowati mengatakan ada potensi transaksi berjalan Indonesia akan semakin baik jika pemerintah jadi menaikkan harga BBM. Pasalnya, kenaikan harga BBM akan menyebabkan konsumsi BBM menjadi turun. Dampaknya, impor minyak akan turun dan negatif neraca migas tidak begitu besar. Dalam jangka panjang, hal ini akan berdampak pada transaksi berjalan.
"Kalau BBM naik, konsumsi akan melambat, impor melambat, dampaknya akan positif," kata Hendi.