EKBIS.CO, JAKARTA—Sikap Presiden Jokowi yang meminta PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) membantu listrik pasokan PLN hingga 300 megawatt untuk mengatasi krisis listrik di Sumatera Utara dikritisi karena kapasitas yang diminta terlalu berlebihan.
"Pemerintah jangan terlalu memaksakan Inalum sesuai kebutuhan PLN. Jadi enggak bisa memaksakan seperti itu karena kapasitas PLTA yang dibangun sejak awal listriknya untuk kebutuhan Inalum dan jangan meminta lebih bantuan Inalum yang telah diberikan, yaitu 90 MW," kata peneliti Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara, Senin (17/11).
Ia menjelaskan, PLTA yang dimiliki BUMN yang memproduksi alumunium itu, sedari awal untuk kebutuhan produksi, Inalum sudah sesuai keputusan pemerintah. Apalagi, lanjut Marwan, ada juga yang bermasalah seperti Pemda dan swasta yang sudah dapat hak pengelolaan.
Ia juga meminta pemerintah untuk segera mengagendakan pertemuan antara dua BUMN tersebut. Setidaknya bisa ditempuh dengan cara duduk bersama untuk mencapai kesepakatan.
"Dibenturkan Inalum-PLN kalau begini caranya bisa mengganggu produksi, ada kompromi jalan tengahnya yaitu tidak terlalu memenuhi PLN," jelasnya.
Direktur Utama PT Inalum (Persero) Winardi mengatakan, selama ini Inalum telah berkontribusi dalam usaha mengurangi krisis listrik di Sumatera Utara dengan memberikan daya sebesar 90 MW yang dihasilkan PLTA milik PT Inalum (Persero).
Daya yang dihasilkan delapan turbin pembangkit, yakni empat turbin di pembangkit Sigura-gura dan empat turbin di pembangkit Tangga, mencapai total 603 MW pada kapasitas output puncak.
"Setelah dikurangi spinning power dan rugi-rugi transmisi, daya yang sampai di sub station pabrik peleburan Kuala Tanjung hanya sekitar 553 MW saja, dan dari daya ini sebanyak 90 MW secara kontinu sejak November 2013 disalurkan kepada masyarakat Sumatera Utara melalui PLN," kata Winardi.
Sedangkan sisa sebesar 463 MW jelas dia, seluruhnya digunakan untuk mengoperasikan 510 unit tungku peleburan dan seluruh fasilitas pendukungnya. Tungku tersebut dioperasikan 24 jam terus menerus selama 6-7 tahun (umur rata-rata tungku).
"Jika tidak mendapatkan energi listrik lebih dari tiga jam, maka tungku akan rusak dan harus dibangun ulang (pot reconstruction) dengan dana milyaran rupiah per tungku," tegasnya.