EKBIS.CO, JAKARTA -- Produk pembiayaan pemilikan rumah (PPR) pada 2015 dipandang masih menarik bagi perbankan syariah meski pangsa pasarnya belum sebesar perbankan konvensional.
Managing Director Finance, IT dan Syariah Bank BTN, Hulmansyah mengatakan, pada 2015 tantangan PPR cukup besar. Tapi dengan program sejuta rumah untuk rakyat dan inti usaha memang pada PPR, BTN Syariah yakin tetap berada di urutan ke dua setelah BTN induk.
Dari satu juta rumah, BTN induk menargetkan bisa memberi kredit sekitar 100 ribu unit dimana sekitar setengahnya akan jadi target BTN Syariah untuk dibiayai melalui produk PPR. Apalagi, BTN induk pun menguasai 96 pasar kredit perumahan.
''2014 permintaan PPR turun sehingga target tidak tercapai. Walau angkanya sudah hampir 100 persen,'' ungkap Hulmansyah, Selasa (3/2).
Direktur BRI Syariah Ari Purwandono menyampaikan, pertumbuhan PPR pada 2014 sebesar Rp 331 miliar sehingga outstanding PPR menjadi Rp1,9 triliun. Pertumbuhan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP atau PPR Sejahtera) pada 2014 sebesar Rp 264 miliar.
BRI Syariah menargetkan PPR 2015 sebesar Rp500 miliar, baik dari produk PPR reguler maupun FLPP.
Dalam paparan kinerja BNI Syariah 2014, akhir pekan lalu, Presiden Direktur BNI Syariah, Dinno Indiano mengatakan pembiayaan konsumer masih jadi bagian besar bisnis karena BNI Syariah lahir dari induk yang juga membiayai konsumer. Tapi BNI Syariah fokus pada PPR untuk rumah pertama sehingga NPF terjaga 1,86 persen pada 2014.
''BNI Syariah sangat mendukung kepemilikan rumah oleh masyarakat. Bagi kami pun, itu adalah ceruk yang menarik dan aman sebab rumah pertama pasti akan diperjuangkan untuk bisa dimilik,'' ungkap Dinno.
Segmen konsumer yang 90 persennya adalah PPR rumah pertama (griya) dengan nilai rata-rata antara Rp 300-350 juta per nasabah membuat NPF griya terkendali di 1,49 persen. Sehingga membantu NPF total tetap berada level 1,86 persen.
Total pembiayaan pada 2014 mencapai Rp15,04 triliun yang sebagian besarnya adalah pembiayaan konsumtif sebesar Rp7,9 triliun atau 52,60 persen, UKM produktif Rp3,25 triliun atau 21,61 persen, mikro Rp1 triliun atau 6,96 persen, kartu Hasanah Rp402 miliar atau 2,68 persen.