EKBIS.CO, JAKARTA -- Ketua Lembaga Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kadin Indonesia, Didik J. Rachbini mengatakan, pelemahan rupiah disebabkan oleh transaksi ekspor berjalan minus sehingga neraca perdagangan mengalami defisit. Selama ini mayoritas ekspor Indonesia berupa bahan mentah, sementara harga komoditi bahan mentah di pasaran sedang turun.
"Oleh karena itu, kita harus mencoba mengatasi masalah ekspor, selama ini impor banyak karena industri kita terguncang dan pemerintah tidak punya kebijakan industri yang cukup," ujar Didik di Jakarta, Jumat (13/3).
Menurut Didik, pelemahan rupiah belum terlalu mengkhawatirkan karena Indonesia masih memiliki cadangan devisa yang bagus. Selain itu, ada harapan bisnis dan demokrasi yang baik di pemerintahan Presiden Joko Widodo. Sehingga semestinya rupiah bisa menguat dan bertahan.
Didik memprediksi enam bulan lalu rupiah bisa mencapai angka sekitar Rp 12 ribu hingga Rp 12.500. Akan tetapi, hal ini diremehkan dan tidak ada tindakan nyata dalam mengatasi lubang struktural sehingga rupiah melesat ke angka Rp 13 ribu. Dengan demikian, pemerintah perlu memperkuat industri, agar bisa menggenjot ekspor sehingga dapat memperbaiki neraca perdagangan.
"Paling tidak industri skala kecil dan menengah bisa ditumbuhkan dalam waktu beberapa bulan, serta hambatan-hambatan yang ada harus dibereskan," kata Didik.
Didik mengatakan, ketika rupiah melemah, sektor-sektor yang bisa mengambil bahan baku dalam negeri bisa mendapatkan keuntungan. Tapi bagi sektor industri lain yang mengandalkan bahan baku impor akan mengalami ketidakstabilan dalam merencanakan bisnisnya.