EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia diminta tidak membiarkan kondisi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang saat ini terus melemah, bahkan tembus kisaran Rp 13 ribu per dolar AS. Karena, kondisi seperti ini tidak baik untuk Indonesia.
Pengamat Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetyono mengatakan, problem melemahnya rupiah bukan hanya ekonomi. Faktor kepercayaan hingga respek pasar ke pemerintah ikut menentukan menguat atau tidaknya rupiah. Nilai tukar dolar AS yang terus menguat terhadap rupiah membuat ia mengingatkan pemimpin kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak membiarkannya.
“Rupiah melemah memang menyenangkan eksportir tetapi memberatkan untuk membayar utang. Saat ini saja utang kita sudah sekitar 298 miliar dolar AS,” katanya saat berbicara di diskusi dengan tema 'Rupiah dan Ketahanan Politik' di Jakarta, Sabtu (28/3).
Kondisi ini diperparah Indonesia yang masih banyak mengimpor dan substitusi impor Tanah Air yang kurang. Tak hanya itu, semakin terpuruknya rupiah membuat sektor riil semakin berhenti. Alasannya, karena masyarakat menunggu rupiah menguat.
Target industri juga bukan tidak mungkin dikoreksi. Misalnya, di industri otomotif. Akibatnya stok mobil yang dijual terus menumpuk dan ia memperkirakan, target penjualan mobil tahun ini bisa terkoreksi. Kondisi yang tidak menggembiarakan ini juga membuat investor tidak mau menanamkan modal dan memilih menyimpan uangnya di bank. Akibatnya, bank kebanjiran dana pihak ketiga (DPK) dan indikator ini bisa dilihat dari likuiditas bank yang meningkat.
Menurutnya, persoalan melemahnya rupiah bukan lagi menyangkut ketahan ekonomi tapi juga politik. Artinya, persoalan ini bisa merembet ke ranah politik. Untuk itu, ia meminta para menteri jangan mengeluarkan kebijakan yang tidak terkoordinasi.