EKBIS.CO, JAKARTA -- Pengamat ekonomi Dwi Andreas mempertanyakan kembali krisis pangan yang terjadi di Indonesia. Melalui hitungan Dwi, Indonesia pada tahun 2014 saja mengalami surplus beras.
"Kemana surplus beras kita? Menurut hitungan ada sekitar 8 juta ton surplus kita, ini disebabkan oleh adanya perbedaan data antara bulog dan data internasional," ujar Dwi, Selasa (7/4).
Dwi mencatat, pada tahun 2014 Indonesia memproduksi 70 ton gabah kering dari gabah kering tersebut berhasil membuat 43,3 juta ton beras. Jika kebutuhan beras 193 kg perkapita, maka semestinya Indonesia surplus 8 juta ton.
Adanya surplus dan fakta krisis dilapangan disebut Dwi akibat sistem pendataan Indonesia yang amburadul.
Saat ini Dwi mengatakan Bulog tak lagi memegang peran dalam stabilisasi harga pangan. Bulog malah disebut Dwi seperti dikebiri karena hanya memiliki bagian sekitar 8 persen dari jumlah keuntungan produksi beras.
Tentu bagian yang sedikit ini tak mampu membuat Bulog mengambil kebijakan untuk stabilisasi harga.
Dwi pun yakin, saat ini Indonesia sebenarnya tidak seburuk apa yang diperkirakan oleh para pemerintah. Indonesia masih bisa bertahan untuk swasembada pangan dan mempertahankan stabilitas perekonomian.
Namun, sayangnya hal tersebut tidak terpecahkan karena banyak pihak yang tidak terbuka dalam perhitungan stok pangan kita.
Dwi mengatakan pemerintah harusnya membuat kebijakan yang tak tunduk terhadap asing. Dwi menyebut perlunya mengembalikan kekuatan Bulog seperti saat dulu. Saat ini yang terjadi Bulog malah dijadikan bahan usaha yang tak bisa memberikan keuntungan.
Dwi mendesak pemerintah untuk segera membuat rencana strategis untuk menanggulangi krisis pangan. Jika Indonesia sebagai negara yang berdaulat tak bisa membuat ketahanan pangan, maka Indonesia bisa hancur.