EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah dinilai belum memiliki kebijakan yang terintegrasi, antara program pembangunan di berbagai sektor dengan pengentasan tenaga kerja Indonesia berkualitas. Meskipun tampaknya tingkat pengangguran terus tertekan dari tahun ke tahun, namun terjadi penumpukan di sektor informal dan pekerja paruh waktu yang tinggi.
Di mana, pendapatan masyarakat golongan tersebut memiliki pendapatan rendah tanpa jaminan keberlangsungan kerja yang pasti. "Misalnya di sektor pariwisata, kita ingin menggenjot agar destinasi meningkat, tapi masyarakat setempat terpinggirkan karena justru kebanyakan menyerap tenaga kerja asing," kata Pendiri dan Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Hendri Saparini, Senin (13/4).
Diterangkannya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tenaga kerja sektor formal di 2014 sebanyak 40,6 persen sementara sisanya informal. Klasifikasi dari para angkatan kerja informal, sebanyak 26,09 merupakan pekerja paruh waktu, status setengah pengangguran sebanyak 9,68 persen dan yang berstatus pengangguran terbuka sebanyak 7,24 persen.
Dalam penyerapan tenaga kerja berdasarkan sektor pertanian, manufaktur dan jasa, bidang jasa menggelembung jumlahnya dari 35,1 juta orang di 2005 meningkat menjadi 51,4 juta di 2014. Sementara sektor pertanian justru terkikis dari 43,1 juta orang di 2005 turun menjadi 39 juta orang. "Sisanya pertumbuhan tenaga kerja bidang manufaktur tidak terlalu berkembang signifikan padahal dia punya pengaruh besar terhadap pertumbuhan PDB," tuturnya.
Karena ketidakseragaman pula, antara program pembangunan dengan penyelesaian masalah tenaga kerja, produktivitas tenaga kerja Indonesia menjadi lambat di tingkat negara-negara Asia. Disebutkannya, Indonesia di 2012 berada di urutan kelima dari segi produktivitas tenaga kerja dengan prosentase 20 persen.
Posisinya lebih payah lagi berdasarkan tingkat pertumbuhan produktivitas tenaga kerja, Indonesia berada di posisi enam dengan tingkat pertumbuhan 3,5 persen sejak tahun 2000-2012.