EKBIS.CO, JAKARTA -- Porsi pembiayaan konsumsi dan modal kerja yang lebih besar dari pembiayaan investasi dinilai tidak berarti pembiayaan yang diberikan selalu konsumtif.
Hingga Januari 2015, Otoritas Jasa Keuangan mencatat dari total pembiayaan Rp 197,28 triliun, jenis penggunaan pembiayaan BUS dan UUS masih didominasi untuk konsumsi Rp 78,80 triliun, modal kerja Rp 77,21 triliun, dan investasi Rp 41,27 triliun
Soal pembiayaan konsumsi yang porsinya lebih besar, Direktur Unit Usaha Syariah Permata Bank Achmad Kusna Permana mengatakan, mayoritas bank-bank syariah membiayai perumahan dan ini tidak sepenuhnya konsumtif. Sebab konsumsi yang dibiayai perbankan syariah tidak konsumtif seperti kartu kredit.
Kebanyakan yang dibiayai adalah rumah pertama. Motor, gudang atau ruko yang diberi pembiayaan juga kadang untuk modal usaha.
''Jadi tidak sepenuhnya konsumtif. Industri juga memilih bisnis yang risikonya lebih rendah,'' ungkap Permana kepada Republika, Senin (20/4).
Pembiayaan korporasi tidak jadi opsi yang terlalu dipilih dan bank-bank syariah lebih memilih pembiyaan UKM.
Pembiayaan perumahan dan UKM Permata Syariah sendiri masing-masing sekitar Rp 200 miliar per bulannya. Sementara pembiayaan korporasi dilakukan selektif dan saat ini tidak jadi fokus karena nilai dolar AS yang sedang riskan.
Kepala Unit Usaha Syariah Bank OCBC NISP Syariah Koko T Rachmadi mengungkapkan OCBC NISP Syariah justru hanya fokus pembiayaan konsumer, terutama perumahan. Ini sesuai strategi bisnis yang akan dijalankan untuk dua tahun ke depan.
Pada 2015 ini pertumbuhan ditargetkan mencapai 25 persen. Per Desember 2014 pembiayaan OCBC NISP Syariah mencapai Rp 1,6 triliun.
''Kami akan membiayaan UKM, tapi tidak dalam waktu dekat ini. Persiapannya sudah dilakukan sejak sekarang,'' kata Koko.