EKBIS.CO, JAKARTA -- Pengamat Otomotif Nasional Wisnu Guntoro mengatakan ada keanehan terkait pemberitaan seputar Mobil Nasional (Mobnas) beberapa waktu lalu. Tanpa meragukan kapasitas para pelajar di SMK Solo, Wisnu menyampaikan pembuatan Mobnas bukanlah yang mudah.
"Indonesia bisa buat mobil nasional, tetapi harus berdarah-darah," ujarnya dalam diskusi bertajuk "Menakar Janji Manis Industri Otomotif Negeri Sendiri" di Kedai Tjikini, Jakarta, Rabu (27/5)
Setelah industri mobnas yang dilakukan pada pertengahan 90-an, ia katakan tiba-tiba muncul mobnas yang justru dikerjakan para pelajar SMK di Solo. Ia mengatakan hal ini menjadi kesalahan persepsi teknis antara perbedaan mobil produksi sendiri dengan mobil rakitan.
Apa yang dilakukan pelajar SMK di Solo, ia katakan sudah pernah dilakukan pada 1975, dimana hanya membongkar pasang atau merakit sebuah mobil. Ia justru lebih mengapresiasi kebijakan mantan Presiden Soeharto dalam mengembangkan mobnas Timor dimana pada saat itu terlihat dengan didirikannya pabrik di Karawang untuk membuat mobil tersebut.
Terkait mobnas, ia meminta Jokowi meniru apa yang sudah dilakukan negara-negara ketiga seperti Korea, Cina, dan Malaysia yang bekerjasama dengan negara pertama seperti AS dan Eropa. Ia juga mempertanyakan sikap Indonesia yang melakukan penandatangan kerjasama dengan Proton di Malaysia beberapa waktu lalu.
"Penandatanganan kerjasama mobnas dilakukan di negara orang?, seharusnya di depan Monas atau depan Istana, masa di negeri orang. Dari awal langkah saja sudah tidak nasionalisme," ungkapnya.
Ia meminta agar tidak menggunakan lagi isu otomotif sebagai kendaraan politik terkait mobnas.
Sedangkan untuk membentuk industri otomotif, lanjutnya dibutuhkan banyak mitra. Di masa depan industri otomotif, ia perkirakan sudah tidak ada kendaraan yang 100 persen diproduksi sendiri, tapi hanya menjahit sejumlah komponen-komponen yang bekerjasama dengan mitra lain.
"Pemerintah hanya mengkoordinir semisal pusat studinya untuk membuat regulasi yang melindungi masa depan mobnas, pemerintah harus merancang bisnis yang tidak merugikan investor yang sudah ada di Indonesia sejak 70-an. Pemerintah juga harus menyiapkan dana besar yang tidak boleh diubah kala masa kepemimpinannya berakhir," lanjut Gareng.