EKBIS.CO, JAKARTA -- Koordinator Nasional Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Publish What You Pay Indonesia Maryati Abdullah menyebut, negara berpotensi kehilangan penerimaan dari sektor pertambangan untuk sektor iuran tetap sebesar Rp 1,5 triliun. Hal tersebut disebabkan dibiarkannya tumpang tindih kebijakan antara pusat dan daerah selama bertahun-tahun hingga kini.
“Overlapping misalnya di perizinan perizinan antara tambang dengan sawit, tambang di area hutan, tambang di area konservasi dan hutan lindung,” kata dia kepada Republika, Kamis (11/6).
Kerugian tersebut terjadi di rentang waktu 2010 hingga 2013 di 31 provinsi. Angka kerugian tersebut memang relatif kecil karena hanya mengambil jenis iuran tetap. Sedangkan kerugian di sektor lainnya jauh lebih besar. Akibat tumpang tindih kebijakan, Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia selama ini “betah” jadi sarang mafia. Modusnya beragam, kata dia, dari mulai penerbitan izin yang rentan suap, modus ilegal alih fungsi lahan yakni lahan yang seharusnya tidak boleh menjadi boleh lantas merugikan konservasi lingkungan.
Maka dari itu, kata dia, pemerintah harus benar-benar serius dalam melakukan penegakan hukum lingkungan. “Jangan sampai si penegakan ini tumpul ke atas tajam ke bawah,” tuturnya.
Maksudnya, masyarakat yang justru orang kecil yang ingin mencari penghidupan sekaligus menjaga hutan, memanfaatkan kayu di wilayah HTI dan HPH yang malah dikriminalisasi. Padahal, banyak pengemplang pajak, pejabat daerah dan perusahaan yang melakukan perusakan skala besar yang menjadi kebal hukum karena uang.