Rabu 17 Jun 2015 01:30 WIB

Ekspor Produk Turunan Sawit Kemungkinan Terbebani Pungutan

Rep: EH Ismail/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Pekerja melakukan bongkar muat minyak kelapa sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (19/9).(Republika/Prayogi)
Foto: Prayogi/Republika
Pekerja melakukan bongkar muat minyak kelapa sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (19/9).(Republika/Prayogi)

EKBIS.CO,   JAKARTA -- Industri hilir sawit diprediksi akan terpuruk jika pemerintah benar-benar memberlakukan  pungutan CPO Fund kepada produk hilir sawit. Berdasarkan informasi asosiasi, produk yang kena pungutan seperti RBD PKOL, RBD PKS, Biodiesel, dan RBD Olein kemasan bermerek. Dampaknya, industri sawit sulit bersaing dengan kompetitor di luar negeri, seperti Malaysia.

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menyebutkan, pungutan CPO Fund produk hilir sawit berpotensi menekan ekspor sawit secara keseluruhan pada tahun ini. Besaran tarif antara lain pungutan 20 dolar AS per ton kepada produk hilir RBD Palm Kernel Olein (PKOL), RBD Palm Kernel Stearin (PKS), dan RBD Olein kemasan serta bermerek. Pungutan ekspor sebesar 30 dolar AS per ton dibebankan kepada produk Splitt Fatty Acid dari Crude Oils.

Pada awalnya, kata Sahat Sinaga, asosiasi mendukung kebijakan CPO Fund yang hanya memberlakukan pungutan ekspor sebesar 50 dolar AS per ton kepada CPO dan 30 dolar AS  per ton untuk olein. "Tapi, dengan keputusan tim tarif sekarang yang mengenakan pungutan bagi semua produk hilir sawit, asosiasi mengajukan protes karena menekan daya saing ekspor sawit," kata Sahat di Jakarta.

Rencana pungutan ekspor produk hilir sawit diusulkan dalam Rapat Gabungan Tim Tarif pada Rabu (10/6) pekan lalu. Tim tarif berasal dari perwakilan Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Bea Cukai, dan Badan Kebijakan Fiskal.

“Sebenarnya, kami berharap tim tarif bisa berkomunikasi dengan asosiasi. Tapi, yang terjadi, keputusan  CPO Fund serta bea keluar langsung diputuskan begitu saja,” jelas Sahat.

Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) Paulus Tjakrawan mengatakan, pihaknya terkejut setelah mendengar putusan Rapat Gabungan Tim Tarif yang mengenakan pungutan sebesar 20 dolar AS per ton kepada ekspor biodiesel. Alasannya, tidak ada wacana pungutan CPO Fund dan bea keluar untuk biodiesel.

Menurutnya, kebijakan pungutan ekspor biodiesel kian memperburuk bisnis biodiesel industri dalam negeri. Sebabnya, penyerapan biodiesel bersubsidi  (Public Service Obligation) domestik tidak ada sama sekali dari Februari sampai Juni sekarang. Di sisi lain, ekspor biodiesel juga menghadapi hambatan perdagangan (//trade barrier//) seperti tuduhan dumping  dari Uni Eropa.

"Kondisi sekarang kita sulit untuk masuk Eropa akibat tuduhan subsidi. Walaupun belum terbukti mereka lalu membuat  tuduhan dumping duty dengan besaran berbeda-beda. Adanya pungutan biodiesel menjadikan negara tetangga (Malaysia, Red) menguasai pasar biodiesel global, sedangkan Indonesia sebagai penonton," kata Paulus.

Menurutnya, pungutan ekspor biodiesel tidak fair serta memberatkan pelaku usaha. Ibaratnya, kami ini sudah jatuh tertimpa tangga. “Pelaku industri minta pemerintah supaya pungutan ini ditiadakan. Kami ini sudah berdarah-darah," tambahnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement