EKBIS.CO, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) kemarin (29/6) mengadakan pertemuan tertutup dengan tidak kurang dari 11 ekonom nasional. Dalam pertemuan itu, Presiden sempat menyampaikan harapannya terhadap perbaikan kinerja para pembantunya, yakni khususnya tim ekonomi pada Kabinet Kerja.
Hal ini diungkapkan pakar ekonomi Hendri Saparini, yang kemarin turut hadir dalam pertemuan di Istana Negara, Jakarta, itu. Menurut Hendri, Presiden tampak tidak puas akan kinerja tim ekonomi Kabinet Kerja. Khususnya, dalam hal kepekaan para menteri untuk membaca pasar dan kecenderungan untuk berpikir sektoral, alih-alih sinergi antarkementerian.
"Disampaikan bahwa beliau memerlukan perbaikan dari sisi tim ekonomi. Dari sisi kecepatan, ketepatan merespons pasar, kemudian untuk bisa bersinergi," ucap Hendri Saparini, Selasa (30/6) malam, saat dihubungi Republika.
Direktur Eksekutif Core Indonesia itu mengatakan, Presiden merasa, sinergitas antarkementerian dinilai masih belum memenuhi harapan. Khususnya, belanja pemerintah yang belum dilaksanakan secara optimal. Dampaknya, lanjut Hendri, implementasi proyek-proyek yang sudah direncanakan pemerintah masih berjalan lamban pada sejumlah kementerian.
Lantaran itu, Hendri menuturkan, Presiden mengajak diskusi para ekonom agar pemerintah mampu memetakan masalah ekonomi nasional pada semester kedua tahun ini. Dari sejumlah usulan, ujar Hendri, disampaikan bahwa Indonesia tidak bisa berharap dari recovery ekonomi dunia.
"Sekarang ini kan (ekonomi) global sedang melambat. Kalaupun segera recover, Indonesia juga tidak bisa memanfaatkan recover itu dengan tepat," katanya.
Karena itu, Hendri mengusulkan kepada Presiden agar momentum perlambatan ekonomi global dapat dimanfaatkan untuk perbaikan struktur ekonomi nasional. Khususnya, terkait dengan peningkatan produksi. Hendri menegaskan, Indonesia tidak bisa terus-menerus berharap pada ekspor bahan mentah (primer).
"Tahun depan, belum akan membaik, dari sisi permintaan maupun harga. Sehingga ekspor belum bisa diharapkan. Kalaupun ada perbaikan ekonomi dunia, kan yang kita ekspor juga komoditas primer yang itu pasti ada timelag," jelasnya.
"Ini (ekonomi global) mungkin sedang melambat. Tapi jadikan ini momentum untuk memperbaiki," ucapnya.
Lantas, Presiden juga disarankan agar pemerintah tepat kebijakan dalam menggairahkan dunia usaha. Hendri menyebut, tax subsidy dari pemerintah kurang optimal menggenjot sektor usaha dalam jangka dekat dan menengah.
Sehingga, kata Hendri, pemerintah mestinya fokus pada kepastian dari sisi kebijakan. Demikian pula, pengurangan ongkos produksi, seperti listrik yang murah untuk industri atau memperbaiki infrastruktur. Kedua hal itu, menurut Hendri, dapat menciptakan iklim usaha yang baik untuk semester kedua nanti.
"Pemerintah mau memilih dari yang mana, untuk mengurangi ongkos produksi itu? Apakah dari listrik? Apakah dari high cost economy-nya?" katanya.
Poin selanjutnya yang disampaikan para ekonom ialah merosotnya daya beli masyarakat. Padahal, tegas Hendri, perekonomian nasional sangat bergantung pada sektor konsumsi. Belakangan ini, tutur Hendri, konsumsi kelas menengah-atas, turun. Ini bisa dilihat dari penjualan kendaraan atau properti yang lesu.
"Karena kelas menengah-atas bergantung pada belanja pemerintah dan ekspor komoditas. Nah, kebetulan kan dua-duanya sedang melambat," jelas dia.
Maka dari itu, Hendri menegaskan, pemerintah harus mendorong daya beli masyarakat. Menurut Hendri, daya beli akan naik bila pemerintah segera membelanjakan anggarannya.
Adapun terkait masyarakat kelas bawah, lanjut Hendri, Presiden Joko Widodo diminta agar menurunkan harga barang-barang kebutuhan pokok. Khususnya, setelah dicabutnya subsidi bahan bakar minyak (BBM), yang mengikuti mekanisme pasar.
"Semua harga yang selama ini dikontrol oleh pemerintah, setelah BBM, kemudian gas, listrik, ini kan bertubi-tubi dinaikkan. Ini yang harus dilakukan koreksi terhadap kebijakan kenaikan harga," jelas Hendri.