EKBIS.CO, JAKARTA -- Bank Indonesia memproyeksikan defisit transaksi berjalan (CAD) pada kuartal II-2015 sebesar 2,3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ekonom dari Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan, sejak Desember 2014 neraca perdagangan mencatat surplus. Pada tiga bulan terakhir surplus neraca perdagangan cukup besar.
Surplus neraca perdagangan pada Juni 2015 tercatat sebesar 477 juta dolar AS. Sedangkan pada Mei dan April neraca perdagangan surplus masing-masing 950 juta dolar AS dan 454 juta dolar AS.
"Ini memicu defisit transaksi berjalan menyusut, kemungkinan memang di bawah 2,5 persen dari PDB," jelasnya saat dihubungi Republika, Ahad (26/7).
David menjelaskan, biasanya pada kuartal II defisit transaksi berjalan melonjak hampir 4 persen terhadap PDB. Bahkan, pada kuartal II-2014 defisit transaksi berjalan tercatat 4,27 persen terhadap PDB atau 9,1 miliar dolar AS.
Sebab, pada kuartal II biasanya terjadi repatriasi deviden dan peningkatan impor. Namun, pada kuartal II-2015 impor justru turun cukup dalam dan harga minyak cenderung turun. Hal itu yang membantu CAD menurun. Meski demikian, perlu diwaspadai CAD turun karena impor turun terutama impor bahan baku dan bahan modal.
Penurunan impor dinilai sebagai sinyal ekonomi masih lesu. Surplus neraca perdagangan juga karena impor turun cukup dalam. Artinya, perusahaan manufaktur impornya berkurang. Sisi positifnya, kata David, paling tidak pemerintah bisa mengendlikan CAD yang selama ini dikhawatirkan.
David memproyeksikan sampai akhir tahun CAD mengarah ke level 2,5 persen, bahkan bisa lebih rendah. Banyak investor bilang Indonesia tidak masuk kategori negara yang riskan karena CAD tinggi. Saat ini hanya Brasil, Turki dan Rusia yang masuk kategori riskan karena CAD tinggi.
Sedangkan India dan Indonesia CAD-nya sudah cukup baik. Diharapkan, pada kuartal III-2015 belanja pemerintah bisa mendorong pertumbuhan ekonomi.
Saat ini, masih ada ancaman eksternal meskipun masih ada net inflow dari porfotolio. Yang dikhawatirkan, ketika the Fed menaikkan suku bunga, maka kemungkinan besar hot money akan keluar.
Di sisi lain, rupiah terus mengalami depresiasi menyentuh level Rp 13.400 per dolar AS. David menilai, pelemahan rupiah tidak serta merta mendorong peningkatan ekpor. Meskipun dengan pelemahan rupiah ada insentif produk bersaing.
Sebab, 60 persen produk yang diekspor adalah komoditas, dimana harga komoditas masih lesu dan permintaan cenderung melemah. Hal itu mendorong pemerintah untuk lebih fokus dan memberikan insentif kepada sektor manufaktur.
Selain itu, dengan pelemahan rupiah dari sisi harga sudah menarik investor. Kalau dihitung-hitung dalam dolar, kurs rupiah melemah harga melemah dan upah turun.
"Ekspor kita masih didominasi komoditas, dampaknya ke CAD tidak optimal karena manufaktur aktivitasnya balum optimal, masih dominan komoditas," imbuh David.
Insentif yang dimaksud dari sisi perizinan, dan iklim bisnis yang menarik bagi investor. Sebab, pertumbuhan ekonomi tidak bisa diharapkan dari ekspor. Melainkan, pasar dalam negeri masih besar. Jika investor berani investasi maka aktivitas begerakn, menyerap tenaga kerga dan mendorong daya beli.
Dari sisi perizinan saat ini sudah dipangkas, misalnya sektor migas dari 300-an izin sudah dipangkas separuhnya. Dia berharap tren yang cukup bagus yersebut harus dioptimalkan.
Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengatakan, defisit transaksi berjalan di kuartal II-2015 di kisaran 2,3 persen dari PDB atau sekitar 5 miliar dolar AS. Dibandingkan kuartal II-2014 defisitnya mencapai 8,4 miliar dolar AS.
"Selama 2015 kalau reformasi dijalanin terus CAD bisa di bawah 2,5 persen dari PDB selama satu tahun. Ini menunjukkan transaksi berjalan baik walaupun tetap defisit," jelasnya kepada wartawan di gedung Bank Indonesia Jakarta, Jumat (24/7).
Menurutnya, penurunan CAD didorong oleh neraca perdagangan yang mencatat surplus dari Januari sampai Juni. Surplus neraca perdagangan karena impor turun tajam dibandingkan ekspor yang turun.
Sedangkan dari sisi finansial, aliran modal masuk (capital inflow) dari Januari sampai Juni tercatat Rp 67 triliun. Hal itu dinilai menunjukkan kepercayaan investor terhadap Indonesia.