EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintahan Presiden Joko Widodo didesak untuk konsisten dengan kebijakan hilirisasi mineral pertambangan. Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menilai, hilirisasi penting dilakukan demi membangun basis pertumbuhan perekonomian Indonesia. Terutama berdasarkan produksi serta meninggalkan era ekspor mineral mentah ke luar negeri menyusul beroperasinya beberapa smelter tambang.
Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri merilis situasi ekonomi Indonesia melambat dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2015 sebesar 4,67 persen. Angka ini lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pada kuartal I yang tercatat 4,71 persen. Beberapa daerah yang telah mengalami perkembangan signifikan dari industri pengolahan dan pemurnian tambang justru menikmati pertumbuhan ekonomi yang positif.
Hal ini, lanjut Marwan, bisa dilihat dari Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Triwulan I 2015 yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, pertumbuhan ekonomi Kawasan Timur Indonesia (KTI) pada triwulan I 2015 tumbuh sebesar 6,9 persen, lebih baik dari periode yang sama tahun sebelumnya, 5 persen.
Pertumbuhan ekonomi di kawasan timur tersebut bersumber pada beberapa provinsi yang saat ini sudah merasakan manfaat dan nilai tambah dari pembangunan smelter. Seperti Sulawesi Tengah dengan bijih nikel dan feronikel, Nusa Tenggara Barat dengan tembaga, Papua dengan tembaga, dan Maluku Utara dengan feronikel.
"Bukti nyata sudah di depan mata bahwa era ekspor komoditas mentah ke luar negeri sudah tidak tepat. Larangan ekspor mineral mentah merupakan keputusan yang tepat, dan saatnya Indonesia membangun sektor pertambangan berbaris hilirisasi dengan wajib bangun smelter," ujar Marwan dalam diskusi di Jakarta, Kamis (6/8).
Marwan menambahkan, selain meningkatkan perekonomian daerah, manfaat dan nilai tambah pembangunan smelter juga dirasakan melalui perluasan lapangan kerja, peningkatan per kapita, maupun dampak beruntun yang ditimbulkan.
IRESS mencatat, dari 50 juta ton bijih nikel yang dijual misalnya, pendapatan maksimal yang diperoleh sekitar 2 miliar dolar AS. Namun, hanya dengan 4 juta ton bijih nikel yang diolah dan dimurnikan dalam negeri, dihasilkan pendapatan sekitar 1 miliar dolar AS.
Marwan melanjutkan, dengan nilai investasi sekitar 2 miliar dolar AS untuk satu smelter, penyerapan tenaga kerja langsung mencapai 5 ribu orang dan meningkat menjadi 12 ribu orang salam kondisi pabrik beroperasi penuh.
Pemerintah sendiri juga menargetkan penyerapan tenaga kerja baru pada 2016 mencapai 350 ribu orang. Pencapaian angka ini, lanjut Marwan, sangat bergantung pada proyek hilirisasi pertambangan atau pembangunan smelter.
Hingga kini, terdapat 178 izin usaha pertambangan (IUP) yang masih dalam proses pembangunan smelter. Dari jumlah itu, baru 25 IUP yang sudah menyelesaikan tahap persiapan produksi.