EKBIS.CO, JAKARTA -- Pertumbuhan demografi Indonesia membuat pengembangan properti di negara itu masih dipercayai memiliki prospek ke depan. Hal itu diungkapkan berdasarkan penelitian dari lembaga survei yang berbasis di Malaysia, RAM Ratings.
"Ini meskipun terdapat beberapa penurunan baru-baru ini," kata Kepala Agribisnis, Real Estate, dan konstruksi di RAM Ratings, Mun Wai Thong, Rabu (19/8).
Thong melihat, aktivitas pembelian memang terus menurun sejak 2014. Ini dipengaruhi masa Pemilu tahun itu, kebijakan pemerintah, juga pelemahan Produk Domestik Bruto (PDB).
Namun, di sisi lain, ia melihat permintaan kebutuhan dasar tetap kuat. Itu mengingat basis populasi yang luas. Pun menurutnya, pengembang Indonesia mendapatkan keuntungan dari permintaan dasar yang kuat karena kenaikan demografi muda.
"Mereka kan butuh rumah, sekarang masih rata-ratanya 0,4 juta unit rumah per tahun, tapi nantinya bisa berkembang menjadi dua juta unit rumah per tahun," tambahnya.
Ia juga melihat pertumbuhan kelas menengah di Indonesia cukup cepat. Selama lima tahun 140 juta kelas menengah bertambah.
Adanya potensi ke depan juga dilihat berdasarkan keadaan saat ini, di mana arus urbanisasi Indonesia masih rendah dibanding negara lain. Thong mengungkapkan, urbanisasi di Indonesia masih 50 persen, sedangkan Malaysia 70 persen dan Singapura 90 persen.
"Kredit rumahan Indonesia juga masih lima persen, padahal Malaysia sudah 35 persen, ini artinya masih ada ruang untuk tumbuh," ujar Thong.
Selain itu ketertarikan pengusaha properti di Indonesia juga didukung dengan profitabilitas pengembang yang kuat. Thong memaparkan, margin keuntungan yang bisa didapat pengembang di Indonesia bisa mencapai 30-50 persen. Ini jauh lebih kuat dibanding di Malaysia, misalnya, yang hanya 15-20 persen. "Alasannya, ini didorong oleh penjualan tanah dan lahan murah," katanya.
Sayangnya, sektor ini masih didominasi oleh pengembang-pengembang besar. Sementara, menurutnya, pemain kecil sulit bersaing karena proses akuisisi lahan yang sulit.
Hal di atas tentunya membuat lingkungan pasar menjadi kurang kompetitif. Itu terutama bila dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia. "Meski menurun, tapi karena profit margin yang tinggi pengusaha properti Indonesia masih melihat ini sebagai bisnis yang penting," tambahnya menyimpulkan.