Ahad 23 Aug 2015 20:52 WIB

Biomassa Jadi Tumpuan Target 35 Ribu MW

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Djibril Muhammad
Listrik
Listrik

EKBIS.CO, JAKARTA -- Potensi biomassa untuk dijadikan pembangkit listrik belum terserap dengan baik. Padahal, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, potensi biomassa di Indonesia mencapai 32 gigawatt.

Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru dan Terbarukan (EBTKE) Kementerian ESDM Tisnaldi mengatakan biomassa di Indonesia ditopang oleh 10 komoditas yaitu padi, jagung, kelapa sawit, karet, sekam, tebu, singkong, kelapa, kayu dan sampah kota.

Tisnaldi mengungkapkan, potensi paling besar berasal dari kelapa sawit sebesar 12,6 gigawatt dari potensi keseluruhan. Selama ini, tambahnya, perusahaan hanya menggunakan pembangkit dari limbah sawit untuk kebutuhan internal. Nantinya, pemerintah akan mendorong perusahaan masuk ke dalam pemenuhan target 35 ribu MW.

"Makanya kita harus memetakan kelapa sawit dan jaringan listrik. Kalau jauh kita mau minta investor bangun transmisinya. Kalau dekat pemerintah bisa. ESDM dengan Dana Alokasi Khusus (DAK) langsung ke daerah yang tidak terjamah investor," jelas Tisnaldi, Ahad (23/8).

Tisnaldi menyebut, saat ini potensi tersebut belum dimanfaatkan dengan baik sehingga hanya 1.700 MW yang dihasilkan dari pembangkit listrik biomassa tersebut. Untuk itu, energi biomassa bakal digalakkan guna mendukung program kelistrikan 35.000 MW yang digagas pemerintah. Tercatat, sudah ada 17 perusahaan yang menyatakan minatnya untuk membangun instalasi pembangkit dari limbah sawit.

Tisnaldi menambahkan biomassa tersebut nantinya bakal melengkapi capaian penggunaan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dalam pembangkit listrik sesuai Kebijakan Energi Nasional (KEN) pada 2025 sebesar 40 persen. Sementara sisanya menggunakan energi biofuel yaitu minyak, gas dan batubara.

Tisnaldi pun mengakui banyak Independence Power Producer (IPP) atau pengembang listrik swasta yang masih belum mau membangun instalasi pembangkit listrik tenaga biomassa. Alasannya, IPP harus mengeluarkan kocek lebih untuk membangun jaringan transmisi dari sumber limbah sawit di tempat pengolahannya menuju pembangkit listrik.

Tisnaldi mengatakan, jarak antara pabrik pengolahan ke pembangkit listrik sangat jauh sehingga perusahaan yang ingin mengembangkan biomassa mau tidak mau wajib membangun jaringan transmisi.

"Awalnya tidak tahu maka tak kenal. Setelah sosialisasi mereka memahami. Teknologi tidak sulit. Limbah ini diolah menjadi listrik, side effect yang bermanfaat. Ini butuh PLN. Dan pemerintah bisa bangun lewat DAK," katanya lagi.

Namun, lanjutnya, saat ini banyak perusahaan yang menggunakan biomassa ini hanya untuk listrik internal perusahaan saja. Padahal, biomassa ini dibutuhkan PLN untuk membantu melistriki suatu daerah.

Sementara itu, Manager Bisnis dan Pengembangan PT Sumberdaya Sewatama, perusahaan yang bergerak di bidang energi, Stefanus Johan mengatakan investor memiliki kendala yaitu lokasi yang jauh antara pabrik pengolahan dan pembangkit jaringan. Untuk itu, investor harus membangun jaringan terlebih dahulu.

"Namun, ini memerlukan investasi yang besar. Selain itu, kontrak Perjanjian Jual Beli Listrik dengan PLN cenderung lama," ujar Stefan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement