EKBIS.CO, JAKARTA -- Bursa Efek Indonesia (BEI) menegaskan kondisi perekonomian Indonesia masih kuat secara fundamental. Ia pun mendorong agar pelaku pasar modal kembali optimistis.
Turunnya ekspektasi investasi secara global mendorong pemodal untuk menempatkan asetnya pada instrumen investai yang lebih minim risiko. Situasi ini membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada awal pekan jatuh cukup dalam.
Direktur Utama BEI, Tito Sulistio menungkapkan, berdasarkan laporan keuangan emiten semester I-2015, meski diakui menurun, ada 73 persen atau 329 emiten dari total emiten yang telah melaporkan kinerja laba positif. Dari 20 emiten yang berkapitalisasi pasar terbesar, sebanyak 18 yang membukukan peningkatan total laba secara komprehensif pada akhir Juni 2015 ini dibanding periode yang sama tahun lalu.
Emiten yang mengalami peningkatan laba itu di antaranya PT. Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk (TLKM). Telkom meningkatkan labanya 6,02 persen yaitu dari Rp 10,42 triliun menjadi Rp 11,05 triliun.
"Secara fundamental kami ngga takut ini yang ingin kami sampaikan," kata Tito, Kamis (27/8).
Ia pun kemudian membanding data perekonomian sekarang dengan yang terjadi pada tahun 2008 dan 1998. Dari segi inflasi, menurutnya saat ini tingkat inflasi masih relatif lebih terkendali dari dua periode pembanding itu. Jika pada tahun 1998 inflasi mencapai 81,4 persen dan pada tahun 2008 mencapai 12,14 persen, saat ini inflasi masih terkendali di 7,26 persen.
Ia pun masih bisa mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia masih memperlihatkan adanya pergerakan. Sama halnya dengan nilai tukar rupiah yang terdepresiasi tidak sedalam pada dua periode krisis sebelumnya.
"Artinya, data-data ini mengatakan fundemental ekonomi republik ini sesungguhnya kuat," tegasnya kembali.
Hanya saja melihat penurunan IHSG, pihaknya bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun kemudian mengeluarkan rekasi jangka pendek. Itu di antaranya, OJK yang kemudian memperbolehkan buyback saham emiten tanpa RUPS, BEI menerapkan penyesuaian batas bawah auto-rejection menjadi 10 persen, lalu juga akhirnya meningkatkan batas maksimum Dana Perlindungan Pemodal (DPP) menjadi Rp 100juta.
BEI kemudian juga melakukan peningkatan terhadap kegiatan transaksi di luar ketentuan, khususnya soal short selling. "Lihat keadaan investor yang sudah mulai berteriak, reksadana juga turun ini menandakan kita harus cepat bergerak. Kalo nggak bereaksi cepat ini akan dimanfaatkan spekulator," jelas dia.
Tito mengatakan, reaksi ini akan terus mereka terapkan sampai keadaan dianggap kembali normal. Ia pun yakin gejolak negatif ini akan segera surut dengan melihat sejarah krisis yang pernah terjadi di Indonesia. Pada Tahun 1998, krisis itu bisa dilalui dalam waktu dua tahun, sedangkan pada 2008, krisis ini bisa dilalui selama enam bulan.
"2015, ini nggak bakal lama. Karenanya OJK dan bursa reaksinya adalah short term yg bisa langsung bereaksi," tambahnya.