EKBIS.CO, JAKARTA -- Masyarakat khawatir Indonesia akan kembali krisis seperti pada 1998. Hal itu dikarenakan, nilai tukar kurs rupiah terus melemah serta terdepresiasi.
Meski begitu, Sekretaris Korporasi PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) menilai, peluang untuk terjadinya krisis seperti 1998 cukup kecil. Menurutnya, perbankan kini telah banyak belajar dari pengalaman pelemahan rupiah sebelumnya.
"Otoritas moneter dan pengawas perbankan juga relatif lebih siap dengan perangkat pengendali krisis," ujar Budi, melalui siaran pers, Rabu, (9/9).
Ia menambahkan, menghadapi pelemahan mata uang rupiah, BRI terus menjaga likuiditas valuta asing (valas) dan menjaga kualitas kredit valas.
"Hingga kini rasio LDR valas BRI berada di kisaran 50 sampai 60 persen, kami akan upayakan posisi tersebut agar tetap terjaga sampai akhir tahun," jelas Budi.
Demi menjaga tingkat likuiditas supaya tetep di level aman, BRI memastikan dana valas yang ada sudah mencukup kebutuhan dan proyeksi pertumbuhan kredit valas BRI.
Dalam penyaluran kredit, sebagian kredit BRI pun disalurkan ke sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang relatif tak terkena dampak langsung terhadap pelemahan rupiah. Sedangkan jumlah kredit valas sendiri hanya 11 sampai 12 persen yang telah disalurkan BRI.
Rasio kredit bermasalahnya (NPL) secara keseluruhan juga tetap terjaga di kisaran 1,2 sampai 1,4 persen. "BRI memang sangat berhati-hati dalam menyalurkan kredit valas," ujar Budi.
Tak hanya mengendalikan ekspansi kredit di beberapa sektor, BRI pun berencana memprioritaskan penyaluran kredit valasnya ke sektor yang pendapatannya berbentuk valas pula. Apalagi ada peraturan dari Bank Indonesia mengenai kewajiban penggunaan rupiah untuk transaksi di dalam negeri.
Maka, Budi optimis permintaan terhadap valas akan berkurang. "Kami berharap hal itu memberikan dampak positif bagi penguatan nilai tukar rupiah terhadap valas," jelasnya.