Kamis 08 Oct 2015 16:48 WIB

Indonesia tak Ikut TPP, Ini Alasan Pemerintah

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
(dari kiri) Kepala AEC Center Tri Mardjoko, ASEAN Bussines Advisor Soebronto Laras, Dirjen Kerjasama Perdagangan Internasional Bachrul Chairi dan Menteri Perdagangan Thomas Lembong berbincang saat meluncurkan ASEAN Economic Community (AEC) Center di kantor
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
(dari kiri) Kepala AEC Center Tri Mardjoko, ASEAN Bussines Advisor Soebronto Laras, Dirjen Kerjasama Perdagangan Internasional Bachrul Chairi dan Menteri Perdagangan Thomas Lembong berbincang saat meluncurkan ASEAN Economic Community (AEC) Center di kantor

EKBIS.CO, JAKARTA -- Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Bachrul Chairi mengatakan, Indonesia belum siap untuk ikut dalam kesepakatan perjanjian Trans-Pacific Partnership (TPP) karena cakupannya terlalu luas dan tingkat liberalisasinya tinggi.

Salah satu dampak jika Indonesia ikut dalam TPP yakni harus menyetujui tidak ada provisi konten special and differential treatment untuk negara berkembang, sehingga tidak ada technical cooperation.

"Liberalisasi barang impor maupun ekspor melalui eliminasi tarif dan pajak ekspor, sehingga program pemerintah untuk menjalankan hlirisasi melalui pengenaan pajak ekspor tidak diperbolehkan padahal dalam General Agreement on Tariffs and Trade memperbolehkan," ujar Bachrul kepada Republika, Kamis (8/10).

Selain itu, menurut Bachrul, dampak lainnya yakni adanya liberalisasi investasi dengan syarat yang berat yakni tidak ada konten lokal dan no export performance. Padahal sekarang Indonesia sedang menggiatkan penggunaan konten lokal dan investasi untuk tujuan ekspor.

Bachrul menjelaskan, dalam kesepakatan TPP ada provisi hak investor untuk mengajukan kebijakan pemerintah ke aebitrase internasional. Hal ini bertentangan dengan undang-undang investasi yang menyarankan jika ada sengketa antara investor dan pemerintah harus ada persetujuan kedua pihak untuk diselesaikan.

"TPP juga mensyaratkan liberalisasi jasa dengan pendekatan negatif list seperti investasi barang, jika ini dilakukan maka investasi jasa akan diperlakukan seperti investasi barang," kata Bachrul.

Dengan demikian, jika ada pelaku bisnis melakukan penjajakan maka harus diprotektif seperti investor. Padahal, sistem investasi Indonesia hanya menganut post-establishment. Artinya, investor yang telah melakukan investasi baru akan mendapatkan proteksi.

Menurut Bachrul, liberalisasi jasa menurut General Agreement on Trade in Services masih diperbolehkan limitasi pada market akses dan domestik regulasinya. Dengan demikian tidak ada dispute antara investor dengan negara dan hanya ada penyelesaian sengketa antara negara dengan negara.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement