EKBIS.CO, JAKARTA -- Sejumlah eksportir komoditas pertanian dan peternakan mengadukan kendala mereka dalam menjalankan bisnis ekspor kepada Kementerian Pertanian.
"Banyak proses ekspor yang dipersulit, banyak pungutan yang menambah biaya ekspor, tapi regulasi dari pemerintah pun dipersulit," kata eksportir buah dari Asosiasi Eksportir Sayur dan Buah Indonesia Hasan Jhonny Widjaja di Jakarta, Jumat (4/12). Padahal, ia menilai seharusnya pemerintah mendukung ekspor yang memang ingin terus digenjot.
Ia menyebut salah satu kendala ekspor yakni produk tidak bisa langsung dikirim ke negara tujuan, tapi harus melewati negara lain terlebih dahulu. Proses ekspor juga kerap terkendala pengujian kualitas. Hal tersebut ditambah infrastruktur yang belum merata dan tingkat pengetahuan petani yang berbeda-beda dalam memproses produk sayur dan buah setelah panen.
Indonesia, kata dia, tidak punya kawasan khusus komoditas sayur dan buah tertentu sehingga menyortir semua komoditas ekspor yang berkualitas baik jadi makan waktu lama.
Eksportir buah dan sayur dari PT Langit Biru Sukses Eric Solomon menyebut, hambatan ekspor yang paling terasa dimulai sejak Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) diwajibkan secara online. Dokumen PEB online menyulitkan dan kerap mengakibatkan gagal ekspor. Hambatan lainnya yakni proses sortir kualitas di mesin pendingin yang dikenai tarif Rp 500 per kilogram. "Itu memberatkan kita," katanya.
Laporan soal hambatan ekspor juga datang dari perwakilan kelompok tani Pangalengan Jawa Barat Andri. Ia melaporkan soal proses pembayaran dari eksportir ke petani yang kerap memakai tenggang waktu dari dua pekan hingga lebih dari sebulan.
"Petani menjadi tidak nyaman, padahal petani inginnya cash flow jangan ditunda-tunda," tuturnya. Ia pun mengusulkan agar pembayaran didukung perbankan agar tidak ada jeda waktu. Peranan bank, kata dia, seharusnya propetani dan bersedia mengalokasikan dana talangan untuk pembayaran produk ekspor.
Keluhan juga diutarakan Eksportir Industri Penyamakan Kulit Ternak, Umya. Mereka menyebut pemerintah membunuh usaha mereka pelan-pelan, dimulai sejak 1998. Impor bahan mentah dibatasi hanya 60 persen. Dampaknya, perusahaan tidak bisa memaksimalkan kapasitas produksi yang seharusnya bisa memproses 5 juta lembar kulit mentah per tahun, menjadi hanya 1,1 juta lembar atau 20 persen dari kemampuan kapasitas.
"Pembatasan impor karena alasan menjaga dari penyakit mulut dan kuku," kata dia. Impor kulit mentah sangat dibutuhkan bagi perusahaannya karena akan diolah menjadi barang jadi seperti sepatu dan kemudian diekspor. "Kita tidak minta macam-macam, cuma pengen dapet bahan baku agar lancar," ungkapnya.