EKBIS.CO, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) mengakui menghadapi dilema dalam menentukan kebijakan moneter terkait suku bunga acuan BI (BI rate). Pihaknya masih belum dapat memastikan kapan akan menurunkan BI rate yang kini ada di level 7,5 persen.
"Kami sadar kami sedang menghadapi dilema, perlambatan ekonomi dalam negeri sedang terjad, tapi di satu sisi risiko eksternal masih besar," kata Kepala Grup Riset Ekonomi Direktorat Kebijakan Ekonomi BI, Yoga Affandi, di Plaza Bapindo, Jakarta, Senin (7/12).
Yoga pun memandang sesungguhnya hitungan BI rate di 7,5 persen ini sudah sangat besar. Itu dengan melihat turunnya tingkat inflasi di Indonesia.
Meski begitu, Yoga pun mengingatkan, amanat BI adalah menjaga stabilitas ekonomi nasional. Menurutnya dampak ke pertumbuhan ekonomi ke depan akan lebih besar jika stabilitas terjaga.
"Karena kalau katakanlah suku bunga rendah itu bisa mendorong kredit, tunggu dulu, kredit itu sangat ditentukan bukan hanya dari sisi pendanaan api demand-nya. kalau demand membaik, dengan sendirinya kredit tumbuh. Itu seperti terjadi di kuartal III dan IV," jelasnya.
Selain itu mengenai saham. Kata dia, penurunan suku bunga secara sementara memang bisa menaikkan saham. "Tapi kami melakukan studi ternyata untuk di Indonesia BI rate lebih banyak mempengaruhi yield (imbal hasil) dari surat utang negara (SUN)," lanjut Yoga.
Sekali lagi ia mengungkapkan, saat ini tingkat suku bunga memang diakui sudah cukup tinggi. Sementara, ruang untuk pelonggaran itu ada ke depannya.
Namun, persoalan kapan suku bunga itu akan diturunkan, menurut dia, saat ini kondisi yang terjadi belum cukup bisa dipetakan dengan jelas. Padahal kebijakan moneter, kata Yoga, yang diharapkan dapat memberika perbaikan secara jangka panjang.
"Memang ada ruang pelonggaran untuk turun ke depannya, tapi kami harus berhati-hati, karena kebijakan moneter itu kan seharusnya untuk merespon yang jangka panjang bukan 1-2 bulan ke depan dan kami menginginkan konsistensi kebijakan," tegas dia.