EKBIS.CO, JAKARTA -- Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi Lukman mengatakan, wacana pemerintah untuk pengenaan cukai pada minuman berpemanis dan atau berkarbonasi dapat menganggu iklim investasi di Indonesia. Apalagi, menjelang dibukanya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pengenaan cukai ini justru dapat melemahkan daya saing industri di dalam negeri.
"Indonesia sudah memegang hampir 50 persen pasar ASEAN, kalau wacana cukai ini diberlakukan maka tidak menutup kemungkinan banyak investor yang lari ke negara tetangga dan kita hanya menjadi pasar saja," ujar Adhi di Jakarta, Selasa (15/12).
Adhi menjelaskan, pertumbuhan volume industri makanan dan minuman pada kuartal III dan IV 2015 sudah mulai menunjukkan perbaikan. Menurutnya, jangan sampai pertumbuhan yang mulai membaik ini dihajar oleh kebijakan-kebijakan yang salah.
Dari sisi pendapatan negara, pengenaan cukai tersebut merupakan tindakan yang kontra produktif. Adhi mengatakan, GAPMMI telah melakukan studi bersama dengan Kementerian Kesehatan. Dalam study tersebut dijelaskan bahwa minuman berpemanis dan atau berkarbonasi bukan faktor tunggal terhadap dampak kesehatan terkait penyakit tidak menular seperti obesitas dan diabetes.
"Di Indonesia konsumsi minuman siap saji maupun tidak siap saji hanya berkontribusi sebesar 6,5 persen dari total asupan kalori penduduk perkotaan Indonesia," kata Adhi.
Adhi mengatakan, industri minuman merupakan salah satu pasar yang banyak diminati oleh investor. Komitmen investasi dengan jumlah signifikan telah dinyatakan oleh beberapa perusahaan minuman berkarbonasi. Menurut Adhi, apabila sektor ini dikenakan cukai maka akan menjadi hambatan bagi para investor.
Adhi menjelaskan, pada 2012 Lembaga Pengkajian Ekonomi & Manajemen Fakultas Ekonomi UI (LPEM UI) melakukan kajian terhadap dampak pengenaan cukai minuman berpemanis dan atau berkarbonasi. Jika pengenaan cukai pada minuman berkarbonasi sebesar Rp. 3000 per liter dalam satu tahun maka akan memberikan dampak buruk pada konsumen, industri, dan pemerintah.
Dampak pada industri yakni terjadi penurunan pendapatan industri minuman ringan sebesar Rp. 5,6 triliun. Sedangkan, pendapatan pemerintah akan turun sebesar Rp. 783,4 miliar dan penerimaan pajak tidak langsung juga akan turun sebesar Rp. 710 miliar. Menurut Adhi wacana ini juga akan menimbulkan dampak negatif pada industri pendukung seperti pemasok, distribusi, pedagang, dan tenaga kerja.
Pemerintah Indonesia bisa belajar dari Denmark dan Meksiko, bahwa kebijakan cukai tersebut tidak tepat. Denmark menghapus fat tax setelah satu tahun diterapkan, karena mengakibatkan 1.300 orang yang bekerja di industri makanan dan minuman kehilangan pekerjaan.
Sementara itu, di Meksiko penerapan sugar tax sebesar 6 persen telah membuat 1.700 orang kehilangan pekerjaan.