EKBIS.CO, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menerbitkan ketentuan yang mewajibkan bank untuk membentuk tambahan modal di saat kondisi ekonomi sedang baik (boom period). Penerapan ketentuan pembentukan tambahan modal tersebut wajib dipenuhi oleh perbankan untuk mengantisipasi kerugian dari pertumbuhan kredit/pembiayaan yang berlebihan (countercyclical buffer).
Deputi Direktur Departemen Komunikasi, Arbonas Hutabarat, mengatakan, besaran countercyclical buffer bersifat dinamis, di kisaran antara nol persen sampai dengan 2,5 persen dari Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) bank.
Pembentukan tambahan modal perbankan tersebut bersama dengan pembentukan penyangga modal lainnya diatur dalam ketentuan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM). KPMM yakni, tambahan modal untuk mengantisipasi kerugian pada periode krisis (capital conservation buffer) dan tambahan modal khusus untuk bank-bank yang ditetapkan berdampak sistemik atau Domestic Systemically Important Bank/ D-SIB (Capital Surcharge) untuk meningkatkan kemampuan bank menyerap kerugian.
"Tambahan modal ini berfungsi sebagai penyangga (buffer) guna menyerap kerugian saat perekonomian ditengarai memasuki periode memburuk (burst period)," jelas Arbonas, dalam keterangan resmi, Kamis (31/12).
Kewajiban pembentukan Countercyclical Buffer tersebut dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 17/22/PBI/2015 tentang Kewajiban Pembentukan Countercyclical Buffer yang diterbitkan pada 28 Desember 2015. Aturan tersebut efektif mulai berlaku pada 1 Januari 2016. Nantinya, Bank Indonesia akan melakukan evaluasi besaran Countercyclical Buffer tersebut secara berkala minimal satu kali dalam enam bulan.
Menurutnya, tambahan modal yang wajib dibentuk perbankan pada periode ekspansi akan dapat digunakan ketika perbankan menghadapi tekanan saat ekonomi sedang kontraksi. Sehingga diharapkan keberlanjutan fungsi intermediasi bank dapat terjaga.
Penetapan tersebut mempertimbangkan kondisi ekonomi Indonesia yang saat ini mengalami perlambatan. Hal itu antara lain tercermin pada pertumbuhan kredit yang melambat secara signifikan.
Kebijakan tersebut juga mendukung ketentuan permodalan perbankan yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang diharapkan memperkuat daya tahan perbankan. Tujuannya untuk meningkatkan ketahanan permodalan perbankan dalam menyerap potensi risiko kerugian saat terjadi krisis keuangan dan ekonomi serta mencegah menjalarnya krisis sektor keuangan ke sektor ekonomi.