Rabu 13 Jan 2016 08:24 WIB

Kekayaan Hayati Indonesia Rawan Dicuri Peneliti Asing

Rep: Sonia Fitri/ Red: Nur Aini
Hutan Hujan Tropis (Tropical Rain Forest) di Kutai Barat, Kalimantan Timur
Foto: wordpress
Hutan Hujan Tropis (Tropical Rain Forest) di Kutai Barat, Kalimantan Timur

EKBIS.CO, JAKARTA -- Sumber daya genetik asli Indonesia berpotensi rentan pencurian. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut, hingga 2014 terdapat 24 persen peneliti asing menjadi pihak kedua yang terbanyak meneliti terhadap satwa liar di Indonesia. Angka tersebut diprediksi bisa bertambah terus.

Di sisi lain, akses permintaan untuk penelitian sumber daya genetik terus berjalan sementara aturan penjagaannya belum memadai. "Bagaimana penegakan hukum, bagaimana status pemanfaatan sumber daya genetik yang sudah dibawa ke luar negeri, semua itu belum ada regulasinya," kata Kepala sub Direktorat Sumber Daya Genetik KLHK Indra Eksploitasia di Jakarta, Selasa (12/1).

Indra mengatakan potensi sumber daya genetik Indonesia bisa ditemui dalam tumbuhan, satwa, mikroba dan pengetahuan tradisional. Ia tersebar di dalam dan di luar kawasan konservasi. Oleh karena itu, Rancangan Undang-Undang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem saat ini menjadi prioritas Program Legislasi Nasional 2016.

RUU diharapkan mampu menjadi pengganti UU Nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Draf RUU ini dinilai penting karena upaya perlindungan terhadap sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional harus menjadi bagian dari keanekaragaman hayati Indonesia.

Direktur Program Tropical Forest Conservation Action Sumatera-KEHATI Samedi menyebut, keterwakilan ekosistem masih rendah disebut sebagai kawasan konservasi dalam UU Nomor 5 Tahun 1990. "Ekosistem perlu dilindungi demi menjaga keberadaan ekosistem asli yang menjadi sumber plasma nutfah," katanya.

Ia pun menyarankan ada penetapan keterwakilan ekosistem dalam suatu kawasan konservasi dan penetapan ekosistem bernilai penting di luar kawasan. Tujuannya agar kawasan di luar konservasi yang bernilai tinggi juga terlindungi.

Pemanfaatan tiga potensi keanekaragaman hayati tersebut diminta memenuhi tiga pilar Konvensi Keanekaragaman Hayati yang dikuatkan dengan Protokol Nagoya. Ketiganya adalah konservasi keanekaragaman hayati, pemanfaatkan komponen keanekaragaman hayati yang lestari (berkelanjutan) serta pembagian keuntungan yang adil dan merata atas pemanfaatan sumber daya genetik.

Profesor Kehutanan dari IPB Hariadi Kartodiharjo mengusulkan dibuat pemetaan atas keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia. Sehingga memudahkan tidak tumpang tindih dengan UU lingkungan yang sudah ada.

Hariadi yang juga anggota Dewan Pembina Yayasan KEHATI mengatakan pemetaan berguna untuk menyatukan gap antara norma dan fakta. "Bila fakta di lapangan hasil pemetaan menemukan bahwa suatu kawasan tidak layak lagi disebut zona inti konservasi, maka strategi pendekatannya juga berbeda," katanya.

Relasi masyarakat dan bisnis dalam pemanfaatan sumber daya genetik juga tak boleh luput dari perhatian. Menurut Hariadi, keberhasilan UU ini nantinya adalah dapat membalikkan pikiran masyarakat bahwa konservasi tidak harus di kawasan khusus dan penyelamatan keanekaragaman hayati juga bisa dilakukan masyarakat biasa.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement