EKBIS.CO, JAKARTA -- Merespons anomali perubahan iklim 2016, petani tidak menggunakan kalender tanam yang dibuat oleh pemerintah pusat.
Sebab, kalender tersebut dinilai sangat general sehingga tidak membantu petani memandu kegiatan tanam.
"Kita buat kalender tanam secara mandiri, sebab di masing-masing wilayah tidak bisa disamakan kondisinya," kata Petani penggerak dari Indramayu Masroni dalam acara diskusi tentang pencapaian kedaulatan pada Senin (18/1).
Petani, lanjut dia, tidak bisa mengandalkan informasi general yang digulirkan BMKG. Sebab masing-masing wilayah punya kondisi tanah dan iklim yang beragam.
Petani di Indramayu melakukan pencacahan curah hujan disesuaikan kondisi lahan setempat. Bahkan per-kecamatan di kabupaten yang sama pun bisa jadi berbeda-beda jadwal tanamnya.
Dari 33 kecamatan di Indramayu, ada 24 kecamatan yang sudah melakukan penjadwalan tanam mandiri. Petani setempat bahkan sudah dapat menyiasati varietas yang adaptif dengan perubahan iklim.
"Sebaiknya petani yang belum menerapkan penghitungan dan penjadwalan ini, segera melakukannya," kata dia.
Inisiator Gerakan Petani Nusantara (GPN) yang juga pengajar di Departemen proteksi Tanaman IPB Hermanu Triwidodo menyebut, data perubahan iklim yang dipantau BMKG kebanyakan digunakan untuk para nelayan dan memang banyak beredar di pelabuhan. Jika pun informasinya sampai ke petani, manfaatnya sedikit karena petani butuh data akurat.
"Dari sejarahnya, data BMKG untuk petani merupakan bagian dari program Sekolah Pangan Iklim, di mana petani diajarkan untuk membuat peramalan mandiri soal perubahan iklim," ujar dia.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian (Balitbang) Kementerian Pertanian Muhammad Syakir menegaskan, petani jangan mau disandera oleh anomali perubahan iklim. Segala pertanaman pangan masih bisa diupayakan dengan penerapan teknologi pertanian yang menyeluruh.
"Kita punya kalender tanam yang berguna untuk informasi petani, pasti ada eror karena anomali ini, tapi kita punya satelit, terus kita pantau," kata dia.
Di tengah anomali perubahan iklim 2016, Kementan tengah berfokus pada perluasan areal sub optimal, lahan kering dan rawa.
Lahan irigasi, lanjut dia, tidak bisa lagi menjadi satu-satunya yang diandalkan di tengah permintaan pangan yang tinggi. Makanya segala arah riset mengarah pada penyiapan benih amfibi dan mengoptimalkan lahan sub optimal.
Anomali perubahan iklim membuat pertanaman mundur. Namun ia menyebut, per hari ini standing crop telah mencapai 4,8 juta hektare. Ia berada di kawasan Aceh, Sumatera Utara, Jambi, Riau bagian timur, Jawa Barat bagian utara, NTB dan NTT bagian timur serta kawasan lain.
"Kita ada datanya, kalau tidak percaya, cek sendiri," tuturnya.