Ahad 27 Mar 2016 15:25 WIB

Rebung dari Hutan Lombok Tembus Pasar Cina Dan Taiwan

Rep: Sonia Fitri/ Red: Nur Aini
Kapal Kargo pengangkut kontainer komiditi ekspor (ilustrasi)
Foto: sustainabilityninja.com
Kapal Kargo pengangkut kontainer komiditi ekspor (ilustrasi)

EKBIS.CO, JAKARTA -- Pendekatan partisipatif dan kemitraan dinilai perlu dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di sekitar hutan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat dalam mengembangkan hasil hutan bukan kayu yang menjadi primadona daerah.

"Misalnya di Lombok ada bambu tabah, lebah madu, kopi sambung, talas, singkong, ubi jalar, kemiri, duren lombok, itu bisa dikembangkan," kata Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Supriyanto di Lombok Nusa Tenggara Barat, sebagaimana dikutip dalam rilis, Ahad (27/3).

Pola pendekatan partisipatif tersebut, kata dia, dapat membantu 256 kepala keluarga di sekitar Hutan Rarung Lombok. Penduduk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu melalui koperasi Wana Makmur yang terdiri dari enam kelompok tani.

Kepala Balai Penelitian Tanaman Hasil Hutan Bukan Kayu KLHK Mataram Harry Budi menerangkan, Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Rarung yang luasnya sekitar 306,6 hektare. Kawasan tersebut merupakan salah satu laboratorium alam yang ada di Indonesia, terutama dalam budidaya tanaman bambu tabah yang pemasarannya berorientasi ekspor ke Korea dan Jepang.

"Saat ini pemasaran rebung bambu tabah telah menembus pasar internasional seperti Cina dan Taiwan," katanya. Sedangkan nilai tambah dari madu Trigona diorientasikan untuk propolis, madu, dan bee pollen. Pemanfaatan ruang juga dikembangkan untuk produk kopi sambung yang mampu berproduksi 60 kg per pohon per tahun. Tanaman pangan lokal seperti talas, singkong, ubi jalar dimaksudkan untuk memenuhi ketahanan pangan masyarakat lokal.

Di hutan juga dikembangkan inokulum kayu Girynops versteegii umur tujuh tahun. Ia dapat menghasilkan gubal gaharu sekitar Rp 15 juta untuk kelas super dan Rp 3 juta untuk kelas rendah. Juga dikembangkan biofuel dari tanaman nyamplung walaupun biaya produksi dalam skala laboratorium sebesar Rp 15 ribu. "Masih lebih tinggi dibanding harga pasar yaitu sekitar Rp 5.650 per liter," tuturnya.

Balai Penelitian Tanaman Hasil Hutan Bukan Kayu Mataram mengembangkan bambu tabah (Gigantochloa nigrrociliata BUSE KURZ) di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus Rarung, Lombok NTB. Hal tersebut merupakan salah satu upaya untuk meningkatan ekonomi kawasan masyarakat di sekitar kawasan hutan melalui pola kemitraan dengan kelompok-kelompok tani.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement