EKBIS.CO, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Institute for Development Economics and Finance Enny Sri Hartati menilai kenaikan harga pangan menjelang Ramadhan dan hari-hari besar keagamaan lain hanya terjadi di Indonesia.
"Di semua negara ada hari keagamaan juga. Malah di negara lain, setiap mau Natal, ada sale (diskon). Tapi anehnya di Malaysia, Brunei Darussalam, yang mayoritas Muslim tidak mengalami gejolak harga pangan seperti di Indonesia," katanya dalam diskusi bertema "Sengkarut Tata Kelola Pangan" di Jakarta, Senin (6/6).
Enny menjelaskan alasan fenomena sale menjelang Natal di negara lain yang dinilai berkebalikan dengan apa yang terjadi di Indonesia. Menurut dia, sale besar-besaran yang dilakukan banyak pelaku usaha jelang Natal di negara lain dilakukan untuk meningkatkan pangsa pasar melalui momentum tingginya permintaan.
Strategi tersebut, kata Enny, dilakukan lantaran persaingan yang ketat antara para pelaku usaha di negara-negara lain sehingga harus melakukan penetrasi pasar dengan upaya keras. "Setiap hari besar keagamaan, memang ada peningkatan permintaan. Hanya saja masyakarat di kita unik setiap kali perayaan keagamaan. Permintaannya bisa jauh lebih tinggi," katanya.
Anehnya, kata Enny, gejolak harga pangan menjelang hari besar keagamaan seperti Ramadhan, Idul Fitri atau Natal di Indonesia sepertinya telah menjadi agenda rutin. "Dulu waktu Orde Baru, dua-tiga hari atau seminggu sebelum (hari raya) ada kenaikan harga. Tapi saat ini, sebulan sebelum Ramadhan harga-harga sudah naik," katanya.
Ia berharap, pemerintah bisa menempatkan masalah pangan sebagai persoalan krusial karena dampaknya yang luas terhadap perekonomian dan dunia bisnis. "Pangan ini persoalan krusial, karena berdampak pada perekonomian dan dunia bisnis," ujarnya.
Baca juga: Omzet Pedagang Daging Sapi Turun