EKBIS.CO, JAKARTA -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan menindaklanjuti temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hal ini terkait dengan temuan BPK bahwa ada kelebihan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar sebesar Rp 3,19 triliun yang dihitung sebagai pendapatan PT Pertamina (persero).
Menteri ESDM Sudirman Said menjelaskan, terkait selisih dari harga keekonomian dengan harga penjualan solar bersubsidi memang belum diputuskan pemerintah, apakah dianggap sebagai keuntungan Pertamina atau bertindak sebagai pengurang subsidi. Hanya saja, lanjut Sudirman, sejak awal ada niat dari pemerintah untuk menyediakan adanya dana simpanan dari selisih keuntungan harga jual solar untuk berjaga-jaga bila harga minyak dunia melonjak.
"Semua temuan BPK tentu kita perhatikan dan kita follow up. Nanti klarifikasi pasti diperlukan. Jadi bukan kemahalan. Kalau harga kan kita jual atau Pertamina menjual tidak persis sesuai harga keekonomian, dengan maksud ada simpanan menyimpan. Simpanan dipakai pada waktu harga naik," kata Sudirman, Senin (6/6).
Sementara itu, VP Corporate Communication Pertamina, Wianda Pusponegoro menyatakan, pihaknya masih menunggu hasil audit menyeluruh. Alasannya, audit yang diumumkan BPK baru mencakup BBM jenis solar saja. Ia sendiri menegaskan bahwa Pertamina akan transparan apabila ada temuan BPK yang memang memerlukan tindak lanjut, seperti misalnya soal kelebihan harga jual solar ini.
"Namun secara fakta ada kondisidi di mana pada saat 2015 ada selisih antara harga keekonomian premium dan harga jual, ada selisih di mana Pertamina yang tanggung. Sehingga informasi ini BPK sudah tahu dan kami siap kerja sama dan hitung secara bersama-sama berapa selisih yang jadi kewajiban masing-masing. Hasil komplit selesai, baru kami ada langkah selanjutnya," katanya.
Kondisi di mana Pertamina sempat menanggung rugi Rp 15 triliun dari penjualan premium, kata Wianda, menjelaskan bahwa kelebihan harga jual saat ini masih membuat Pertamina menanggung rugi akibat penjualan premium sejak tahun lalu. Pertamina tidak bisa menjual Premium menggunakan harga pasar melainkan tetap ikut kebijakan pemerintah.
"Kerugian Rp 15 triliun didasarkan pada keekonomian yang mengacu pada formula, adapun harga premium yang diberlakukan sesuai ketetapan pemerintah," ujar Wianda.