EKBIS.CO, JAKARTA -- Meski Presiden Jokowi sudah meminta agar megaproyek listrik 35 ribu Mega Watt dikebut, di lapangan, proyek tersebut justru jalan di tempat. Pengamat energi dan juga pengajar Universitas Tarumanagara Ahmad Redi mengatakan, dari ukuran proyek sebesar itu, hanya sebagian kecil saja yang telah rampung dan sebagian kecil lainnya baru pembangunan konstruksi.
"Mari kita tengok data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), per April 2016. Data Kementerian menunjukkan kapasitas pembangkit listrik yang sudah dibangun hanya 223 MW, atau sekitar 0,6 persen dari total target. Dari angka tersebut, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN sudah membangun 220 MW dan 3 MW sisanya adalah miliki swasta atau independent power producer (IPP)," kata dia dalam keterangan tertulisnya, Rabu (13/7).
Kalau dirinci, kata Ahmad Redi, pembangkit listrik dalam program 35 ribu MW yang sudah siap beroperasi ada tiga dan semuanya terletak di Sulawesi, yaitu: PLTM Taludaa (IPP) 3 MW, PLTG Gorontalo Peaker (PLN) 4 x 25 MW, dan PLTG MPP Amurang (PLN) 120 MW.
Menurut Redi, proyek berjalan lambat karena beberapa faktor, antara lain diperlukan pembiayaan yang besar, mencapai Rp 1.100 triliun. Ini artinya, jika PLN 'ngotot' mengerjakan mega proyek ini sendirian, jelas sangat tidak mungkin tercapai. Apalagi target dari 35 ribu MW saja harus tuntas di 2019.
Lebih berat lagi, ada kesan, PLN sebagai operator kurang bisa berkoordinasi dengan Kementerian ESDM sebagai regulator dan pengawas teknis."Koordinasi dengan Kementerian ESDM juga tidak begitu baik. Secara khusus, PLN dan ESDM harus diberi catatan merah karena lambat," ucap dia.
Mestinya, ketika proyek berjalan lambat, PLN memberi kesempatan kepercayaan kepada IPP untukmembangun pembangkit. Redi menyarankan, sebaiknya direksi PLN jika ingin program ini sukses, jangan menggunakan pendekatan yang sama seperti proyek 10 ribu MW yang gagal total.
Pemerintah, termasuk PLN di dalamnya, perlu melakukan terobosan hukum dengan membuka ruang hukum agar target 35.000 MW bisa tercapai. Memang pemerintah telah merilis Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan, namun PP ini bak macan ompong.
"Kalau memang Dirut PLN dianggap tidak bisa, ya, cari orang yang bisa menyelesaikan. Karena proyek besar ini butuh orang yang super power, mau melakukan kebijakan extraordinary," ucap dia.
"Kalau hanya berpikir taktis saja tidak akan selesai. Kalau PLN lamban, kasih ke IPP dibarengi kepastian investasi. Program ini kan menjadi taruhan pemerintah sekarang."
Ia berpendapat, jika proyek listrik ini gagal, maka tentu jadi catatan merah karena proyek listrik 10 ribu MW yang ditugaskan sebelumnya ke PLN pun tak maksimal. Ia menyarankan agar tak terulang, direksi PLN harus lebih gesit.
"Faktanya, program listrik 35 ribu MW ini sangat pelan progressnya. Bahkan PLN pernah ribut dengan Pertamina soal harga uap gas bumi untuk PLTP Kamojang, beberapa waktu lalu," ujar Redi.