EKBIS.CO, JAKARTA -- Suku bunga acuan baru Bank Indonesia (BI) 7 Days (Reverse) Repo Rate dinilai lebih mencerminkan kondisi likuiditas di bank dan akan mendorong transmisi kebijakan ke perbankan lebih cepat. Kendati begitu, transmisi kebijakan ke penurunan suku bunga perbankan dinilai tidak dapat langsung terjadi.
Anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Destry Damayanti menjelaskan, benchmark dari kebijakan bunga BI tersebut pasti akan memengaruhi biaya dana (cost of fund) dari bank.
"Itu tercermin dari biaya dana apakah itu yang sifatnya short term atau yang sifatnya agak panjang, menengah, deposit. Jadi dia transmisinya langsung ke deposito dulu ataupun cost of fund bank, baru abis itu dia masuk ke kredit," ujar Destry Damayanti di Jakarta, Senin (22/8).
Menurut Destry, untuk penentuan suku bunga kredit tidak bisa langsung serta merta disesuaikan turun. Hal itu karena penentuan suku bunga kredit itu melalui komite kredit yang bertujuan mereview suku bunga kredit.
"Komite kredit itu pertemuannya tidak setiap saat, karena dia biasanya ada jangka waktunya di mana mereka akan review suku bunga kredit dan kemudian juga dikaitkan dengan kondisi dari peminjamnya/borrowernya. Jadi itu akan membutuhkan waktu lebih lama dibanding penurunan pada suku bunga deposito," kata mantan ekonom Bank Mandiri ini.
Namun, pada akhirnya hal itu akan tercermin apabila kondisinya ideal. Apalagi saat ini, kata Destry, di sektor perbankan Indonesia terjadi segmentasi melalui bank umum kegiatan usaha (BUKU) I-IV. Dengan bank BUKU IV merupakan bank-bank besar, sementara BUKU I bank sangat kecil.
Segmentasi ini ia nilai juga memengaruhi kondisi likuiditas mereka. Sehingga, ada beberapa bank yang mungkin menjadi sangat sensitif. Apabila bank tersebut memiliki likuiditas besar, bank pasti akan menurunkan suku bunga lebih cepat, sehingga proses transmisi ke kredit juga cepat.
"Tapi ada bank-bank yang likuiditasnya agak seret, itu yang menyebabkan dia tidak bisa serta merta menurunkan depositonya dan menurunkan suku bunga kredit," tuturnya.
Oleh karena itu, kata Destry, masih tetap dibutuhkan pengawasan dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang merupakan otoritas mikro prudensial.
"Diperlukan pengawasan secara mikro dari bank ke bank, mana kira-kira suku bunga yang tepat yang akhirnya bisa masuk ke seluruh segmen bank," katanya.