EKBIS.CO, JAKARTA - Pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi tahun depan akan berkisar di angka 5,1 hingga 5,2 persen. Pertumbuhan ekonomi ini didorong oleh konsumsi domestik. Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa angka ini dianggap realistis mengingat kondisi ekonomi global yang masih tertekan ditambah dengan permintaan yang menurun.
"Semua negara (G20) sepakat bahwa perdagangan global akan melemah. Itu artinya ekspor impor zero growth. Ini lebih baik dari sebelumnya yang negative growth," kata Sri di Komisi XI DPR, Kamis (7/9) malam.
Solusi bagi Indonesia untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi di dalam negeri, menurut Sri, adalah dengan mengalihkan permintaan yang sebelumnya berasal dari luar negeri ke dalam negeri. Artinya, konsumsi dalam negeri akan digenjot dari sisi pemerintah, korporasi, dan rumah tangga masyarakat.
"Indonesia miliki perekonomian dan faktor domestik yang cukup besar untuk gantikan mesin pertumbuhan ekonomi untuk gantikan dari luar negeri ke dalam negeri," katanya.
Sri menilai meski harus realistis, dalam artian harus ada unsur kehati-hatian dalam menentukan angka pertumbuhan ekonomi, namun tetap harus ada dorongan optimisme untuk iklim investasi. Pernyataan Sri Mulyani ini dijelaskan setelah ia mengikuti pertemuan G20 di Cina awal pekan ini. Sri menyebutkan, negara-negara anggota G20 selama tujuh tahun berturut-turut mengalami tekanan ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata di bawah angka 5 persen.
Salah satu faktor yang dianggap memberikan dampak langsung bagi perekonomian Indonesia adalah ekonomi Cina yang juga sedang tertekan dengan kelebihan produksi baja. Akibatnya, pemerintah Cina membuat kebijakan untuk mengalokasikan 60 persen dari anggaran negara untuk mengerem produksi baja dan mengalihkan serapan tenaga kerja dari industri baja ke industri lainnya. Sri beranggapan bahwa kondisi ini akan memberikan dampak kepada pertumbuhan ekonomi global termasuk Indonesia.