EKBIS.CO, JAKARTA -- Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengajak masyarakat mengenang kembali betapa keras upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk memulihkan sistem perbankan kala krisis moneter tahun 1998 silam.
Setidaknya, ada dua krisis ekonomi global yang dilalui Indonesia selama kurun dua dekade belakangan, yakni krisis tahun 1997-1998 dan 2008-2009 lalu. Namun, krisis moneter pada 1998 ternyata jauh lebih dahsyat dari ekspektasi.
Sri Mulyani mengungkapkan, kala itu pemerintah terpaksa menggelentorkan 70 persen anggaran negara untuk menyehatkan sejumlah bank yang terlanjur sakit akibat pukulan krisis ekonomi. Biaya tersebut, meski Sri tidak menyebut berapa jumlahnya, adalah yang terbesar yang pernah dialami oleh negara di dunia untuk menyelamatkan sistem perbankan di suatu negara.
"Itu adalah yang terbesar di dunia. Saya pikir yang comparable hanya Argentina," ujar Sri dalam seminar Challenges to Global Economy yang diselenggarakan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Kamis (22/9).
Deraan krisis ekonomi global memang kembali dialami Indonesia pada tahun 2008-2009 lalu. Namun krisis kali itu bisa dilalui Indonesia dengan cukup halus yang masih tertolong oleh harga komoditas, termasuk migas dan mineral batubara, yang cukup tinggi.
Meski pada akhirnya, lima tahun pascakrisis 2009, harga komoditas anjlok. Indonesia merasakan betul pukulan yang dirasakan industri akibat rendahnya harga batu bara dan barang mineral tambang lainnya. Kondisi ini diperparah dengan anjloknya harga minyak dunia dua tahun kemudian.
Dua kali merasakan susahnya menghadapi krisis ekonomi global, Indonesia memilih menyusun strategi demi menguatkan koordinasi pemerintah dalam menjaga stabilitas keuangan. Tahun ini pemerintah menerbitkan Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). Undang-Undang ini menguatkan koordinasi antara Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan untuk menguatkan sistem ekonomi nasional.
"UU itu telah memperkuat kapasitas lembaga yang ada sehingga pengawasan sistem perbankan maupun pasar modal dapat berjalan lebih efisien. Ini merupakan salah satu bentuk reformasi yang baik dalam menghadapi kemungkinan datangnya krisis," ujarnya.