EKBIS.CO, ALJIR -- Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) menyepakati pembatasan produksi minyak menjadi 32,5-33 juta barel per hari. OPEC memperkirakan, produksi minyak saat ini mencapai 33,24 juta barel per hari.
Kesepakatan tersebut dilakukan untuk pertama kali sejak 2008. Sikap Arab Saudi sebagai pemimpin OPEC sedang melunak terhadap rivalnya, Iran, di tengah meningkatnya tekanan dari rendahnya harga minyak.
"OPEC membuat sebuah keputusan luar biasa hari ini. Setelah dua setengah tahun, OPEC mencapai konsensus untuk mengelola pasar," kata Menteri Perminyakan Iran, Bijan Zanganeh, Rabu (28/9).
Ia mengatakan, OPEC telah memutuskan untuk menurunkan produksi sekitar 700 ribu barel per hari. Langkah tersebut dinilai efektif untuk mengembalikan produksi OPEC.
Meski demikian, berapa banyak minyak yang akan dihasilkan oleh masing-masing negara masih akan diputuskan dalam pertemuan resmi OPEC selanjutnya pada November mendatang. Pertemuan tersebut juga akan mengundang negara non-OPEC, seperti Rusia, untuk membahas pembatasan produksi.
Harga minyak melonjak lebih dari lima persen menjadi 48 dolar AS per barel. Banyak pedagang merasa terkesan dengan OPEC yang berhasil mencapai kompromi setelah bertahun-tahun terlibat perselisihan.
"Ini adalah kesepakatan OPEC pertama dalam delapan tahun! Ini adalah akhir dari perang produksi dan OPEC mengklaim kemenangan," kata analis energi senior di Price Futures Group, Phil Flynn.
Direktur Pasar Energi dari Stratas Advisors yang berbasis di Houston, mengatakan, ia ingin Menteri Iran memastikan negaranya tidak akan kembali ke tingkat pra-sanksi. Sedangkan untuk Arab Saudi, kesepakatan itu dinilai bertentangan dengan kebijakan konvensional yang pernah mereka keluarkan.
Menteri Energi Arab Saudi, Khalid al-Falih, pada Selasa lalu mengatakan, Iran, Nigeria, dan Libya akan diizinkan menghasilkan minyak pada tingkat yang maksimum sesuai dengan pembatasan produksi.
Perekonomian Arab Saudi dan Iran sangat tergantung pada minyak. Akan tetapi dalam kondisi pasca-sanksi, Iran mengalami tekanan kurang dari separuh harga minyak mentah sejak 2014 dan perekonomiannya bisa meningkat hampir 4 persen tahun ini.
Arab Saudi, di sisi lain, menghadapi tahun kedua defisit anggaran setelah jeda rekor sebesar 98 miliar dolar AS atau Rp 1,2 triliun, tahun lalu. Perekonomian stagnan dan pemerintah terpaksa memotong gaji pegawainya. Arab Saudi adalah produsen minyak terbesar dengan produksi lebih dari 10,7 juta barel per hari, setara dengan Rusia dan Amerika Serikat. Ketiga negara tersebut memproduksi sepertiga minyak dunia.
Sementara produksi minyak Iran stagnan di 3,6 juta barel per hari dalam tiga bulan terakhir. Meski demikian Iran menyatakan ingin meningkatkan produksi lebih dari 4 juta barel per hari jika ada investasi asing. Pendapatan minyak Arab Saudi menurun setengah selama dua tahun terakhir. Hal itu memaksa Arab Saudi melikuidasi miliaran dolar aset di luar negeri setiap bulan untuk membayar tagihan, serta memotong bahan bakar dan utilitas subsidi domestik tahun lalu.
"Iran telah hidup dengan latar belakang makro yang sangat sulit selama bertahun-tahun. Jadi penurunan harga minyak memiliki dampak sosial yang lebih besar di Arab Saudi," ujar Raza Agha, kepala ekonom Timur Tengah di bank investasi VTB Capital.
Iran juga mendapat desakan untuk memaksimalkan pendapatan dari minyak. Presiden Iran Hassan Rouhani berada di bawah tekanan dari lawan konservatif untuk memulihan perekonomian lebih cepat.
Harga minyak jauh di bawah kebutuhan anggaran sebagian besar negara OPEC. Sedangkan upaya mencapai kesepakatan produksi sulit dicapai karena adanya persaingan politik antara Iran dan Arab Saudi. Seorang sumber dari OPEC mengatakan, Arab Saudi menawarkan untuk mengurangi produksi di puncak musim panas dari 10,7 juta barel per hari menjadi sekitar 10,2 juta barel per hari. Hal itu dilakukan jika Iran setuju membekukan produksi sekitar 3,6-3,7 juta barel per hari.
Arab Saudi meningkatkan produksi dalam beberapa tahun terakhir untuk bersaing di pangsa pasar. Sementara produksi Iran dibatasi oleh sanksi.