EKBIS.CO, DEPOK -- Asian Development Bank (ADB) memperkirakan pertumbuhan domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2016 sebesar 5 persen. Angka tersebut lebih rendah dari perkiraan ADB pada Maret 2016 sebesar 5,2 persen dan perkiraan untuk 2017 sebesar 5,1 persen serta turun dari prediksi sebelumnya sebesar 5,5 persen.
Ekonom ADB Indonesia Priasto Aji mengatakan, penurunan prediksi tersebut disebabkan karena pertumbuhan investasi yang tidak begitu besar. Kemudahan perizinan dan layanan investasi yang sudah dilakukan oleh pemerintah belum berdampak signifikan terhadap pertumbuhan investasi di dalam negeri.
"Pemerintah sudah melakukan reformasi misalnya untuk kemudahan izin investasi ada layanan 3 jam, kemudian pemerintah menetapkan 35 sektor investasi yang dibuka untuk asing. Tapi impact-nya gak sekuat yang dibayangkan," ujar Priasto dalam Seminar Indonesian Economic Outlook di Universitas Indonesia, Depok, Selasa (11/10).
Menurut Priasto, belanja pemerintah untuk infrastrukur memang akan mengalami percepatan pada paruh kedua 2016. Akan tetapi, secara keseluruhan investasi dan konsumsi pemerintah akan lebih rendah dari perkiraan sebelumnya karena rendahnya realisasi pendapatan.
Selain itu, upah minimum yang lebih tinggi, kenaikan nilai penghasilan tidak kena pajak, dan melambatnya inflasi dapat mendorong pertumbuhan pengeluaran rumah tangga. Alokasi APBN yang lebih tinggi untuk dana desa dan prospek yang lebih baik di sektor pertanian diperkirakan akan meningkatkan pendapatan di pedesaan.
"Para pengambil kebijakan di Indonesia perlu mempertimbangkan berbagai langkah untuk menghadapi risiko terhadap prospek pertumbuhan, jika terjadi pemotongan anggaran dan timbulnya keterlambatan berbagai proyek infrastruktur," kata Priasto.
Priasto menambahkan, ADB juga mencatat adanya pelemahan di pasar tenaga kerja juga dapat melemahkan kepercayaan konsumen. Ada penurunan jumlah pekerjaan pada periode 12 bulan sampai dengan Februari 2016 dibandingkan tahun sebelumnya.
Sementara itu, pasar tenaga kerja bagi pekerja berpendidikan mengalami stagnasi upah. Hal ini disebabkan makin banyaknya lulusan pendidikan tinggi yang mengambil pekerjaan yang tidak memerlukan kualifikasi setinggi mereka. Tren ini terjadi bersamaan dengan keluarnya pekerja berketerampilan rendah, terutama perempuan dari angkatan kerja.