EKBIS.CO, MALANG -- Pemerintah terus menyasar wajib pajak yang belum sempat mengikuti amnesti pajak pada periode pertama program ini yang berakhir pada akhir September lalu. Karena itu, pemerintah memberi kelonggaran bagi peserta amnesti pajak khususnya peserta UMKM.
Raihan amnesti pajak berupa uang tebusan pada periode pertama yang menyentuh Rp 97 triliun ternyata belum menggambarkan keseluruhan wajib pajak yang tercatat di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Catatan pemerintah, dari jumlah wajib pajak yakni sebanyak 30 juta wajib pajak dengan pelaporan surat pernyataan (SPT) sebesar 20 juta wajib pajak, peserta amnesti pajak terbilang minim.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu Hestu Yoga Saksama mengungkapkan, jumlah peserta amnesti pajak hingga Oktober 2016 ini baru di kisaran 400 ribu wajib pajak. Artinya, peserta amnesti pajak kurang dari dua persen total wajib pajak rata-rata yang ada. Dari jumlah tersebut, wajib pajak badan yang mengikuti amnesti pajak baru 70 persen dari keseluruhan dan wajib pajak orang pribadi nonkaryawan menyumbang porsi delapan persen dari jumlahnya yang tercatat. Sementara wajib pajak orang pribadi karyawan baru satu persen yang ikut amnesti pajak.
"Harusnya kalau jumlah penduduk ada 200 juta yang punya NPWP ada 60 juta. Ya ini mestinya mereka punya hak yang sama untuk ikut amnesti pajak. Kami di DJP begitu lihat angka kemarin, oke itu menggembirakan namun kami belum puas karena masih banyak yang harus dilakukan. Kami baru puas kalau sudah banyak WP yang ikut amnesti," ujar Yoga di Malang, Kamis (13/10).
Ditjen Pajak mencatat, periode kedua amnesti pajak diawali dengan jumlah wajib pajak baru sebanyak 12.892 wajib pajak sejak adanya amnesti pajak, dengan total ada 15.789 wajib pajak baru sejak 1 Januari 2016 ini. Belum lagi potensi penarikan harta dari luar negeri yang terhitung besar, membuat pemerintah ingin menarik lebih banyak lagi wajib pajak yang ikut amnesti pajak. Salah satu yang disasar adalah pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang dikenai tarif tebusan sama rata sepanjang periode yakni 0,5 hingga 2 persen bergantung dari pemasukannya.
Pemerintah mencatat, UMKM di Indonesia menyumbang 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Angka yang cukup besar ini ternyata baru diikuti oleh sumbangan untuk penerimaan perpajakan sebesar 3 hingga 4 persen. Untuk menarik UMKM, pemerintah menerbitkan satu beleid baru untuk memberikan kelonggaran bagi UMKM untuk mengikuti amnesti pajak. Aturan yang tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2016 tentang Tata Cra Penyampaian Surat Pernyataan Bagi Wajib Pajak Tertentu serta Tata Cara Penyampaian Surat Pernyataan dan Penerbitan Surat Keterangan Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Usaha Tertentu, salah satunya menyebutkan poin kemudahan dalam pengisian Surat Pernyataan Harta (SPH) dan penyerahan SPH secara kolektif.
Yoga menjelaskan, bagi UMKM yang memiliki peredaran kas di bawah Rp 4,8 miliar per tahunnya diperbolehkan mengisi formulir SPH secara manual atau dengan tulis tangan dan menyerahkan laporan fisik. Langkah ini diizinkan apabila jenis harta yang dicantumkan tidak lebih dari 10 baris. Tak hanya itu, beleid ini membolehkan UMKM dengan kriteria di atas untuk melaporkan SPH dengan cara kolektif atau bersama-sama. Pelaku usaha bisa saja meminta perwakilan dari asoisasi atau organisasi untuk melaporkan SPH-nya. Harapannya, pelaku usaha atau pemilik UMKM yang sibuk dengan usahanya tidak perlu meninggalkan pekerjaannya untuk melaporkan hartanya.
Hanya saja, opsi ini merupakan keringanan yang bebas diambil atau tidak oleh wajib pajak. Yoga menambahkan, apabila wajib pajak khawatir laporan pajaknya diketahui pihak lain, maka wajib pajak peserta amnesti boleh melaporkannya sendiri. "Jadi nggak perlu tinggalkan tokonya dan antre di kantor pajak, bisa secara kolektif diwakilkan dan dikuasakan kepada asosiasinya," katanya.
Untuk menggencarkan keikutsertaan UMKM selama periode kedua dan ketiga ke depan, Ditjen Pajak akan menggandeng asosiasi termasuk Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) dan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) yang memiliki jaringan hingga ke daerah. Pelaporan SPH untuk UMKM secara kolektif bisa dilakukan hingga 31 Januari 2017. Pembatasan waktu ini untuk mengantisipasi adanya kebutuhan jeda waktu bagi kantor pajak untuk menerbitkan Surat Keputusan Pengampunan Pajak (SKPP) 20 hari kerja sesudah pengumpulan SPH.
"Nanti ketua RT atau RW boleh loh mewakili. Setelah dibuatkan berita acara maka dalam waktu 20 hari kerja menerbitkan tanda terima, ada mekanisme kalau yang nggak lengkap ya minta dilengkapi," ujar Yoga.