EKBIS.CO, Oleh Abdullah Sammy
Sudah menjadi sebuah rumus pasti bahwa ketahanan sebuah bangsa akan amat tergantung dengan ketersediaan pasokan listrik. Semakin negara itu kuat, maka persentase elektrifikasinya akan semakin tinggi. Pun sebaliknya.
Sejarah telah mencatat bagaimana listrik memegang peranan akan jatuh bangunnya sebuah bangsa. The Cambridge Sentinel pada edisi 28 Juli 1917 adalah media yang pertama kali mengaitkan bagaimana listrik mampu meruntuhkan sebuah negara dalam sebuah Perang Dunia I.
Lewat artikel berjudul, 'Electricity is Big Factor in War', The Cambridge Sentinel menggambarkan bagaimana sekutu mampu mengalahkan poros sentral dengan memutus akses listrik yang mereka miliki.
Tanpa listrik, sebuah negara super power dunia macam Jerman saja, luluh lantak pada perang dunia pertama. Karena itu, sangat penting bagi sebuah negara menjamin ketersediaan listriknya. Ini demi menjamin ketahanan negaranya pula.
Indonesia beruntung tak pernah mengalami perang dunia, seperti Jerman. Tapi, kondisi yang dialami Indonesia sempat menyerupai negara yang sedang berperang. Sebab krisis listrik pernah menghantam Indonesia.
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, pada 2005 rasio elektrifikasi di Indonesia hanya mencapai sekitar 62 persen. Itu artinya, nyaris 40 persen dari wilayah Indonesia belum terjamah listrik. Ini bak suasana negara yang sedang dilanda perang.
Situasi yang melanda Indonesia tak terlepas dari masih minimnya sumber pembangkit listrik. Selain itu, pembangkit listrik di Indonesia juga masih berbiaya tinggi. Ini akibat pengunaan minyak bumi yang ketersediaannya diimpor dari luar negeri.
Walhasil, saat harga minyak dunia naik atau kala dolar merangkak naik, biaya listrik semakin tinggi. Rakyat pun jadi kesulitan menjangkaunya. Negara juga semakin sulit untuk mengembangkan pembangkit listrik akibat beban subsidi yang tinggi.
Hingga akhir 20015, kementerian ESDM mencatat penggunaan minyak minyak bumi sebagai bahan baku listrik masih sangat besar, yaitu sebesar 49,7%. Pemerintah akan berupaya untuk menurunkan ketergantungan ini hingga menjadi 25% tahun 2025.
Salah satu target pemerintah adalah dengan memaksimalkan gas bumi sebagai salah satu sumber energi listrik. Ini di samping dengan penggunaan energi baru terbarukan.
Sadar akan kondisi yang kelistrikan yang rentan, pemerintah mulai merancang sejumlah strategi untuk memaksimalkan pembangkit listrik dengan sumber energi alternatif, seperti gas.
Sejak 2005, sejumlah pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) menjadi salah satu tolak punggung untuk mendongkrak rasio elektrifikasi di Indonesia. Perusahaan Gas Negara (PGN) jadi tolak punggung utama dalam menjalankan misi pemerintah ini.
Dalam hal ini, PGN bersinergi bersama Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk memutar PLTG di seluruh Indonesia. PGN menjadi penyuplai utama dari beberapa pembangkit listrik yang paling vital di Indonesia. Salah satunya adalah PLTGU Muara Tawar Bekasi.
Sekretaris Perusahaan PGN, Henri Yusup mengatakan, pihaknya memiliki kewajiban untuk menyukseskan program pemerintah untuk mendongkrak rasio elektrifikasi nasional. PGN pun berkepentingan untuk mewujudkan program listrik 35 ribu megawatt yang dicanangkan pemerintah.
"PGN berkomitmen mendukung untuk program 35.000 MW dalam lima tahun ke depan demi kepentingan penyediaan listrik nasional," ucap Heri, Jumat (8/4).
Dia pun menjelaskan bahwa selama ini, PGN telah melayani 1.529 pelanggan yang menggunakan gas sebagai pembangkit listrik. Beberapa di antara yang dilayani PGN itu adalah pembangkit listrik besar, seperti PLTGU Muara Tawar Bekasi. "Penyaluran gas ke PLTGU Muara Tawar dilakukan oleh PGN," kata Heri.
PLTGU Muara Tawar menjadi salah satu pembangkit listrik sangat vital. Sebab pembangkit listrik ini menopang kebutuhan listrik di ibu kota dan sekitarnya.
Selain PLTGU Muara Tawar, PGN juga siap menyuplai pasokan energi listrik untuk Bandara Soekarno-Hatta. Terkait hal ini, PGN sudah meneken perjanjian kerja sama dengan PT Wijaya Karya (Persero) demi mengoperasikan PLTG berkapasitas 50-60 MW di Bandara Internasional tersebut. Pambangunan PLTG ini menelan biaya Rp 1 triliun.
Sama halnya seperti PLTGU Muara Tawar, PLTG Bandara akan sangat vital bagi ketahanan bangsa. Ini terkait akses transportasi udara, yang mana PLTG ini akan menyuplai ketersediaan listrik bagi bandara utama di Indonesia itu.
"Pembangungan PLTG (Bandara) ini merupakan usaha untuk menjamin kebutuhan listrik di Bandara Internasional Soekarno-Hatta," ujar Presiden Direktur PT Angkasa Pura II (Persero) Budi Karya Sumadi, Rabu (11/5).
Tak hanya di Bekasi dan Soekarno-Hatta, suplai PGN selalu hadir di hampir setiap PLTG di Indonesia. Sebab hanya PGN yang memiliki akses untuk menyalurkan gas dengan jangkauan merata dan terbesar di Indonesia.
Hanya PGN yang memiliki jalur pipa sejauh 7.026 kilometer. Ini mencakup mencakup 76 persen pipa gas bumi hilir di seluruh Indonesia.
Karenanya, kehadiran PGN begitu amat vital bagi seluruh PLTG di Indonesia. Seperti dikatakan Henri Yusup, bahwa misi utama PGN salah satunya adalah untuk memenuhi ketersediaan pasokan listrik.
Sebab pemerintah kini menargetkan bahwa di tahun 2019 mendatang, rasio elektrifikasi Indonesia bisa menyentuh level 97 persen. Per 2015, rasio elektrifikasi nasional sudah mencapai 87 persen. Target pemerintah ini tentunya adalah demi memperkuat ketahanan nasional.
"Kita harus mampu memanfaatkan seluruh potensi pembangkit listrik yang ada,” ujar Presiden Jokowi saat menyampaikan pengantar pada Rapat Terbatas tentang Perkembangan Pembangunan Proyek Listrik 35.000 MW, di Kantor Presiden, beberapa waktu lalu.
Ucapan presiden ini direspons nyata dengan gerak cepat PGN dalam menjamin ketersediaan gas untuk sumber pembangkit listrik di seluruh Indonesia. Dari Aceh, Muara Tawar, Bandara Soekarno-Hatta, hingga Papua jadi bukti nyata sumbangsih PGN dalam menjamin beroperasinya PLTG di sejumlah wilayah Indonesia.
Semua usaha itu lagi-lagi adalah demi ketahanan bangsa. Sebab listrik nyatanya terbukti menentukan maju-mundurnya sebuah negara, maupun kuat-lemahnya sebuah bangsa.